Indovoices.com – Saya suka mengamati perilaku manusia. Manusia itu sangat menarik untuk diamati. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah perilaku masyarakat Batak di kampung halaman yang disebut Bonapasogit. Demikian juga melihat perilaku masyarakat Batak merantau.
Apa perbedaan masyarakat Batak dari Bonapasogit yang merantau ke Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Jakarta sekitarnya?. Tentu subjektif, tetapi minimal saya melihat gambaran umum.
Satu hal yang menarik perhatian saya, para perantau itu senang mencalonkan diri jadi Bupati. Entah kenapa, hampir semua wilayah tempat perantauan itu senang kembali untuk calon Bupati. Hendak mau Pilkada, ramai-ramai pulang kampung. Setelah kalah kembali lagi ke tempat perantauan. Tidak ada yang kontinu untuk membangun kampung halaman seperti yang disampaikan ketika kampanye. Kesannya, mereka hitung jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT), siapkan uang. Semoga terpilih. Semacam judi, begitulah. Hampir tidak ada yang memikirkan substansi demokrasi bagi kepentingan rakyat. Hanya sebuah permainan saja.
Dari pengamatan saya, hal yang sangat mendasar secara umum Komunitas Batak dalam bersikap adalah apakah relevan tidaknya sebuah kegiatan?. Di Jabodetabek, Medan, Pekanbaru terbiasa masyarakat Batak bertanya relevan tidaknya sebuah kegiatan.
Masyarakat Batak di Jakarta dan sekitarnya terbiasa kritis. Karena itu, kegiatan adat pernikahan misalnya, sudah selesai jam 17. 00 sore. Di berbagai kota banyak yang sudah demikian. Makan siang tepat waktu sesuai kesepakatan. Beberapa kali saya ikuti di Bonapasogit, acara hingga larut malam.
Hal lain adalah relevansi lagu dengan jenis kegiatan. Bagaimana mungkin ada pesta pernikahan Batak lagunya maumere dan poco-poco?. Tidak relevan, bukan?. Kegiatan-kegiatan tanpa sikap kritis relevan tidaknya mengakibatkan pesta larut malam. Akibatnya, kehilangan makna.
Akhir-akhir ini, beberapa kegiatan tanpa mempertanyakan relevan atau tidak. Kegiatan tanpa memikirkan dampaknya apakah mendidik atau tidak ke masyarakat kita. Kita terbiasa menganalisa dampak kegiatan jauh kedepan. Nilai-nilai edukasi hilang. Komitmen mendidik atau tidak kegiatan itu?. Juga kehilangan filosofis. Tafsir sendiri dengan kemauan sendiri tanpa belajar nilai sejarah.
Menggali nilai budaya dan menerapkan kepada generasi kita sangatlah penting. Tetapi, menggali dengan jujur tanpa menambah bumbu yang membuat bahan tertawaan. Dengan demikian, generasi muda tertarik untuk sebuah nilai budaya.
Ketika kita memperkenalkan budaya ke anak-anak kita dan orang lain, hendaknya relevan dari semua aspek. Aspek nilai, kostum dan mengajarkan kesederhanaan. Tidak berlebihan.
Kegaitan budaya panen dengan cara mardege (butir padi dilepas pakai kaki) di Jangga Dolok yang dilakukan Bupati Tobasa pakai Ulos Batak dan disampingnya pakai dasi tentu tidak relevan. Kapan ada acara mardege pakai ulos Batak?. Tidak relevan dari cerita sejarah, juga dari praktis. Kalau pakai ulos kan, terganggu mardege. Mardege pakai ulos Batak adalah cerita ahistoris. Cerita yang dibuat menurut pikirannya sendiri.
Melihat masyarakat Batak yang ada di seluruh nusantara, juga di dunia. Mereka mengalami perubahan. Satu hal harus diingat yaitu apakah relevan atau tidak kah?. Jika dianggap relevan, tentu dilanjutkan. (gurgur manurung)
#gurmanpunyacerita.