“Mengacu data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) pada tahun 2018, dilihat dari sisi manufacturing value added, industri pengolahan kita trennya terus membaik,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar di Jakarta, Kamis (17/1).
Merujuk data UNIDO tersebut, nilai tambah industri nasional meningkat hingga USD34 miliar, dari tahun 2014 yang mencapai USD202,82 miliar menjadi USD236,69 miliar di tahun 2018. “Saat ini, Indonesia masuk 10 besar dunia sebagai negara industri yang bernilai tambah tinggi,” ungkapnya.
Bahkan, ketika ingin mengukur kontribusi industri terhadap perekonomian negara, Indonesia berada di peringkat kelima dunia. Hal ini berdasarkan data World Bank tahun 2017, yang menunjukkan bahwa negara-negara industri di dunia, kontribusi sektor manufakturnya terhadap perekonomian rata-rata sekitar 17 persen.
Adapun lima negara yang sektor industri manufakturnya mampu menyumbang di atas rata-rata tersebut, yakni China (28,8%), Korea Selatan (27%), Jepang (21%), Jerman (20,6%), dan Indonesia (20,5%). Sedangkan, negara-negara dengan kontribusi industrinya di bawah 17 persen, antara lain Meksiko, India, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Brasil, Perancis, Kanada dan Inggris.
“Artinya, produk domestik bruto (PDB) sektor manufaktur Indonesia merupakan yang terbesar di kawasan Asean,” ungkap Haris. Kemenperin mencatat, pada tahun 2015, sektor industri pengolahan nonmigas menyumbang sebesar Rp2.098,1 triliun terhadap PDB nasional, meningkat 21,8 persen menjadi Rp2.555,8 triliun di tahun 2018.
Data lainnya memperlihatkan, industri manufaktur di Indonesia masih menunjukkan hasrat untuk terus meningkatkan produktivitas dan perluasan usaha guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor. Ini tercermin dari laporan Nikkei, di mana indeks manajer pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) Manufaktur Indonesia sepanjang tahun 2018 rata-rata berada pada level di atas 50 atau menandakan sektor manufaktur tengah ekspansif.
Sejalan capaian itu, Kemenperin pun terus mendorong pendalaman struktur industri di dalam negeri melalui upaya menarik investasi agar semakin meningkat, yang juga bertujuan untuk mensubstitusi produk impor. Investasi di sektor industri manufaktur pada tahun 2014 sebesar Rp195,74 triliun, naik menjadi Rp226,18 triliun di tahun 2018.
Dari penanaman modal tersebut, membawa efek berantai bagi pertumbuhan sektor industri baik skala besar dan sedang maupun skala kecil. Pada periode tahun 2014-2017, terjadi penambahan populasi industri besar dan sedang, dari tahun 2014 sebanyak 25.094 unitusaha menjadi 30.992 unit usaha sehingga tumbuh 5.898 unit usaha.
Di sektor industri kecil, juga mengalami penambahan, dari tahun 2014 sebanyak 3,52 juta unit usaha menjadi 4,49 juta unit usaha di tahun 2017. Artinya, tumbuh hingga 970 ribu industri kecil selama empat tahun tersebut.
Dampak positif lainnya adalah terbukanya lapangan pekerjaan yang luas. Hingga saat ini, sektor industri telah menyerap tenaga kerja sebanyak 18,25 juta orang. Jumlah tersebut naik 17,4 persen dibanding tahun 2015 di angka 15,54 juta orang.
“Selain itu, industri manufaktur konsisten memberikan kontribusi terbesar terhadap nilai ekspor nasional hingga 73 persen,” imbuhnya. Nilai ekspor industri pengolahan nonmigas diproyeksi menembus USD130,74 miliar pada tahun 2018. Capaian ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar USD125,10 miliar.
Terkait dengan implementasi industri 4.0, Indonesia telah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0. Kesiapan ini sebagai penetapan langkah strategi dan target yang jelas dalam pengembangan industri nasional agar lebih berdaya saing global di era digital. Aspirasi besarnya adalah menjadikan Indonesia masuk jajaran negara 10 besar dengan perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030.
“Apabila melihat indeks daya saing global, yang saat ini diperkenalkan metode baru dengan indikator penerapan revolusi industri 4.0, peringkat Indonesia naik dari posisi ke-47 pada tahun 2017 menjadi level ke-45 di 2018,” papar Haris.
Pertumbuhan baik
Sementara itu, praktisi bisnis yang juga Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Profesor Dr Rhenald Kasali menyampaikan, saat ini di dunia sedang memasuki era norma baru. Ini ditandai dengan tidak ada lagi pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen.
“Jadi, kita melihat di masa lalu dengan hari ini memang tidak sama. Maka itu, kita harus bersyukur bahwa kita sekarang masih menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik di dunia,” paparnya.
Menurut Rhenald, pembangunan industri diperlukan penopang yang kuat, antara lain melalui aspek pembiayaan, kepastian hukum, iklim usaha yang kondusif, dan ketersediaan sumber daya manusia. “Misalnya regulasi mengenai ekspor dan impor ataupun pajak, juga harus menjadi satu kesatuan. Sebab, kita ingin membangun industri, bukan hanya sekadar pabrik,” ungkapnya.
Dia juga mengapresiasi langkah pemerintah yang telah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0. “Bahagialah kita sebagai negara yang sudah punya roadmap. Kita harus terus semangat dan optimisme dalam membangun negeri ini,” tandasnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan, Indonesia sudah masuk menjadi negara industri. Pertumbuhan industri saat ini dinilainya masih positif.
“Guna mendongkrak kinerja sektor manufaktur, selain diperlukan pembangunan infrastruktur, pemerintah juga harus pandai memilih perjanjian perdagangan,” tuturnya.
Benny berharap, Indonesia dalam melakukan perjanjian perdagangan harus mempertimbangkan dengan seksama dan ada persiapan yang matang. “Peluang ekspor Indonesia yang perlu ditingkatkan terutama ke pasar-pasar baru, seperti negara-negara Afrika dan Timur Tengah,” ucapnya.
Guna memperluas pasar ekspor bagi produk industri, diperlukan kualitas yang kompetitif. Untuk itu, Kemenperin terus mendorong industri meningkatkan produktivitas dan melakukan berbagai inovasi agar bisa bersaing di kancah global.
“Beberapa upaya yang harus dilakukan oleh industri adalah dengan memberikan sentuhan teknologi terkini pada produknya. Selain itu, melaksanakan pembangunan SDM,” kata Sekjen Kemenperin Haris Munandar.
Mengenai pemanfaatan teknologi terbaru, Kemenperin memiliki program restrukturisasi mesin dan peralatan produksi untuk industri. “Dalam kaitan dengan permesinan ini, salah satunya sudah kita lakukan di sektor tekstil. Agar bisa memacu industri tekstil dan produk tekstil, harus didukung permesinan lebih canggih,” ujarnya.
Menurut Haris, industri tersebut adalah sektor yang mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak dan berorientasi ekspor. Program peremajaan mesin dan peralatan ini, telah dilakukan sejak tahun 2008. Saat ini, sektor yang dirambah untuk restrukturisasi mesin sudah lebih banyak.
Dalam persaingan industri di kancah global, Indonesia berupaya mengungguli negara-negara berkembang lainnya atau emerging countries. Negara-negara itu menggunakan permesinan yang lebih modern, sehingga dalam segi produktivitas lebih tinggi.
“Jadi apabila ingin bersaing, Indonesia pun harus mengimbanginya, sehingga restrukturisasi mesin sangat penting sekali bagi peningkatan produktivitas industri,” imbuhnya.
Haris optimistis, produktivitas industri di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dan semakin berdaya saing di kancah global. “Tentunya, kita harus mendorong bagaimana produktivitas bisa naik melalui permesinan. Kalau kita ingin berdaya saing, produktiktivitasnya harus tinggi. Itu kata kunci,” tegasnya.
Peningkatan skill
Di samping itu, Kemenperin sedang gencar memacu keterampilan atau kemampuan dari tenaga kerja industri di Indonesia sesuai kebutuhan era saat ini termasuk memasuki industri 4.0. “Dalam upaya meningkatkan skill tenaga kerja, kami telah menyampaikan kepada perusahaan-perusahaan agar mengirim tenaga kerjanya ke balai pendidikan dan pelatihan (diklat) yang telah disediakan oleh Kemenperin,” paparnya
Menurut Haris, peningkatan kompetensi tenaga kerja menjadi sangat penting dan erat hubungannya dengan restruksturisasi mesin. “Karena mesin-mesin produksi ini terus berkembang, kalau dahulu mesin masih tradisional, sekarang perkembangan mesin sudah meningkat luar biasa,” jelasnya.
Selain itu, untuk peningkatan skill tersebut, Kemenperin juga fokus pada pengembangan lima sektor industri sesuai implementasi Making Indonesia 4.0. Kelima sektor industri yang dimaksud, adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, elektronika, otomotif, serta kimia.
Haris menambahkan, Kemenperin semakin serius dalam upaya peningkatan SDM industri terampil, sehingga masuk dalam salah satu program prioritas di tahun 2019. Misalnya, dengan menjalankan program pendidikan vokasi link and match SMK dengan industri serta pelatihan 3in1. Tahun ini ditagetkan dapat diikuti sebanyak 72 ribu peserta.
“Mereka mendapat pelatihan, sertifikasi dan penempatan kerja. Jadi, 72 ribu orang itu langsung kami tempatkan di perusahaan-perusahaan,” terangnya. Kemenperin menyelenggarakan pendidikan vokasi industri tersebut berbasis kompetensi dengan dual system, yakni melalui praktik dan teori yang perbandingannya sekitar 70:30.
Di samping itu, Kemenperin memfasilitasi pembangunan politeknik atau akademi komunitas di kawasan industri. Tahun ini akan difasilitasi pembangunan Politeknik Industri Petrokimia di Cilegon dan Politeknik Industri Agro di Lampung.
Kemudian, Kemenperin telah menyiapkan tujuh balai diklat, sembilan SMK dan 10 politeknik yang akan menjadi role model dalam pelaksanaan pendidikan vokasi.“Karena Kemenperin punya tugas agar di sektor industri ini supaya bisa menyerap 600 ribu tenaga kerja setiap tahunnya,” imbuhnya.
Semua program pendidikan vokasi industri yang dilakukan Kemenperin tersebut, tujuannya untuk persiapan menghadapi era industri 4.0 dan meningkatkan daya saing industrinasional di kancah global.