Indovoices.com – Pemerintah terus melakukan berbagai pembenahan di sektor energi dan mineral guna mewujudkan ketahanan energi nasional di masa mendatang. Langkah dan arah kebijakan yang tengah ditempuh adalah dengan menjadikan sumber energi sebagai modal pembangunan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebutkan, Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai sumber energi fosil sudah tidak bisa dipakai sebagai penopang utama dalam ketersediaan sumber energi pada jangka waktu panjang.
“Masih ada 50% orang yang berprespektif sentimental beranggapan bahwa Indonesia itu sangat kaya dengan sumber daya alam. Dulu Blok Rokan di Riau itu produksinya lebih dari satu juta barel sehari, gas dan batubara pun besar,” kata Jonan dalam acara Pertamina Energy Forum 2018 di Jakarta, Kamis (29/11).
Jonan menjelaskan energi fosil akan mengalami sifat ilmiah, yakni tidak bisa diperbarui sehingga menyebabkan cadangan energi fosil terus menurun dari tahun ke tahun. Untuk menyiasati permasalahan tersebut, Pemerintah mencari cara-cara strategis yang realistis dengan kondisi sumber daya alam Indonesia.
“Yang sentimentil ini harus berubah menjadi prespektif yang realistis contoh melalui pemanfaatan batubara. Ini menurut saya penting, pemanfaatan energi harus berdasarkan platform yang realistis ke depan,” tegasnya.
Potensi batubara yang cukup besar akan menghasilkan nilai tambah yang luar biasa jika mampu melakukan hilirisasi. Namun, hal tersebut belum dijalankan optimal oleh para perusahaan minerba. “Sampai hari ini tidak ada upaya semua pemegang konsensi termasuk bukit asam membuat hilirasi atau produk-produk turunan batubara,” ungkap Jonan.
Melihat kondisi tersebut, Pemerintah berinisiatif untuk mendorong pemanfaatan batubara diubah menjadi gas atau bahan bakar cair (Coal to Dimethyl Ether/DME). “Coal to DME ini adalah konversi batu bara yang diubah melalui proses kimiawi menjadi DME. DME digunakan untuk apa? untuk pengganti LPG. Kalau kita ngomong energi security. Ini yang kita mandatkan,” terang Jonan.
Jonan menilai pemanfaatan batubara akan mengurangi penggunaan Liquified Petroleum Gas (LPG). Apalagi saat ini, tingkat konsumsi LPG di Indonesia cukup tinggi, sehingga dibutuhkan impor LPG. Sebagai gambaran, konsumsi LPG Indonesia sekitar 6,7 hingga 6,8 juta ton LPG. Sementara, sebanyak 70% LPG atau sekitar 4,5 juta (ton) diperoleh dari impor. “Nilai impor itu sekitar USD 3 miliar atau setara Rp 50 triliun,” papar Jonan.
Latar belakang mengimpor LPG lantaran kompenen gas yang dihasilkan unsurnya tak memenuhi dalam pembuatan LPG. “Kenapa impor LPG? karena banyak dari sumur-sumur gas kita yang menghasilkan gas bumi itu disebut gas kering, sehingga komponen C3-C4 sangat tipis sehingga nggak bisa dibuat LPG,” jelas Jonan.
Jalan lain untuk mencapai ketahanan energi adalah menciptakan kendaraan listrik. Menurut Jonan, kehadiran kendaraan listrik akan mengurangi impor BBM. Terlebih penemuan akan cadangan-cadangan migas baru di Indonesia belum berjalan optimal. Kondisi ini tidak sejalan dengan tingginya konsumsi BBM di Indonesia sekitar 1,3 juta barel setara minyak perhari, sementara produksi minyak Indonesia sekitar 775 ribu barel setara minyak per hari. “Kita impor (BBM) 400 ribu barel setara minyak per hari,” ungkap Jonan.
Untuk itu, Pemerintah sangat mendorong industrialisasi yang berbasis listrik. “Ini penting karena listriknya dihasilkan dari energi primer lokal seperti batubara, gas alam, panas bumi, air, hingga angin. Makanya, mobil listrik harus jalan,” tandas Jonan.
Dua tantangan tersebut (Coal to DME dan kendaraan listrik) bakal diimplementasikan oleh Pemerintah demi mencapai ketahanan energi nasional. “Dua ini kalau kita membicarakan energy security saat ini,” jelas Jonan.
Penulis: Naufal Azizi