Pabrik Textile berbahan baku serat kayu terbesar di dunia diresmikan Presiden Jokowi. Propinsi Riau sebagai salah satu kawasan terbesar Hutan Tanaman Industri (HTI) sukses mewujudkan investasi Trilyunan rupiah dari hasil kayu. Bahwa tehnologi pengolahan serat kayu menjadi bahan textile adalah inovasi baru yang murah dan efektif, namun tidak ramah lingkungan. Mengapa demikian?
Kayu apapun jenisnya semua orang tahu, termasuk bahan baku langka yang banyak dibutuhkan namun jumlahnya terbatas. Hanya daerah tertentu di dunia ini yang bisa ditumbuhi hutan kayu, tanaman penghasil oksigen bagi manusia. Indonesia dengan iklim tropis yang hanya dilewati 2 musim (hujan dan kemarau) menjadikan tanaman apapun tumbuh subur, tak terkecuali kayu.
Hutan di Indonesia adalah paru-paru dunia, itulah kelebihan kita dibanding negara lain. Kelebihan yang kita miliki bisa berubah menjadi kekurangan saat kita memperlakukan hutan sebagai komoditas. Membangun industri perkayuan secara tidak sadar telah “melukai” paru-paru dunia. Di saat negara-negara lain sibuk mengkampanyekan selamatkan hutan, kita justru asik memperjual belikan isi hutan tanpa peduli dampak ke depan bagi anak cucu dan kehidupan di bumi.
PT APR (Asia Pasific Rayon), anak perusahaan Pasific Grup milik taipan Sukanto Tanoto adalah “Rajanya” pengolahan industri kayu. Selain PT APR ada pula PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) penghasil kertas terbesar di Indonesia yang juga berlokasi di area yang sama. Bahan baku kertas tak lain kayu juga, jika digabungkan kedua perusahaan itu akan didapat angka 2000 Hektar kawasan yang dulunya hutan kini menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) penghasil devisa non migas bernilai trilyunan. 25 ribu serapan tenaga kerja mampu dihasilkan dari dua mega industri tersebut. Mereka yang datang dari berbagai penjuru turut mendukung rekayasa hutan.
Kemudian muncul pertanyaan, tidak adakah inovasi bahan serat textile lain yang tidak “egois” dengan kepentingan bumi? Tidak adakah bahan baku kertas selain dari kayu?Hutan beserta tumbuhan dan segala kayunya ditanam untuk ditebang. Butuh waktu 5 tahun dari bibit kayu ditanam hingga ditebang, lalu ditanami lagi. Ada jeda waktu yang terbuang dari fungsi tanaman sebagai penetralisir karbondioksida. Bibit yang baru ditanam setinggi 1 meter fungsi penyerapan karbondioksida pasti berbeda dengan tanaman setinggi 10 meter berusia 5 tahun. 2000 hektar lahan yang beralih fungsi ekosistemnya pada akhirnya akan terus meningkat seiring kebutuhan industri. Jadi jangan heran kalau kebakaran hutan, atau lebih tepatnya hutan dibakar menjadi kebutuhan sebuah industri kayu olahan.
Dengan dalih alih fungsi hutan menjadi komoditas industri secara langsung turut menyumbang kerusakan kadar oksigen. Saat dibakar, kadar karbondioksida bertambah. Berlanjut saat ditanami lagi fungsi penyerapan karbondioksida berkurang dikarenakan usia tumbuhan baru tidak langsung bisa menghasilkan oksigen. Artinya secanggih apapun tehnologi yang menggunakan potensi hayati sebagai bahan bakunya adalah sebuah proses pengerusakan.
Yang lebih rusak lagi adalah manusianya. Mereka yang berebut menebang pohon, menjadikannya lembaran kertas dan bahan serat textile. Lalu berteriak dan menuliskan seruan “Selamatkan Hutan Kita” di atas lembaran-lembaran kertas dan kain spanduk berbahan baku kayu juga.
Hal hal ironis akan selalu terjadi saat sebagian kita masih kurang memahami persoalan di hulu. Begitu pula halnya dengan peresmian pabrik textile berbahan baku serat kayu terbesar di dunia. Bukan sebuah kebanggaan, tetapi lebih cenderung sebagai exploitasi hutan yang dilegalkan atas nama devisa dan penyerapan lapangan kerja.
Jokowi tidak sepenuhnya brilian untuk ide-ide investasi inovatifnya. Ada hal-hal yang patut dikritik jika itu terkait lingkungan hidup. Entah proyek industri tersebut sudah terlanjur ditandatangani oleh Presiden sebelumnya, Jokowi tinggal meresmikannya. Atau memang kita yang sedang asik berfoya-foya atas limpahan kekayaan alam yang tidak dimiliki negara lain.