Di saat pemerintahan Jokowi bekerja keras untuk pemerataan hasil pembangunan di Indonesia, sebuah rumah produksi di high-end brand Hermes mengeluarkan sandal jepit seharga sekitar Rp 5,6 jutaan. Apa keistimewaannya? Tidak ada selain dari harganya yang selangit. Serta merta netizen mencela peluncuran produk baru ini. Berikut tiga di antara komentar warganet.
“Aku merasa ini sangat menghibur dan membuatku tertawa dan memutar mata tapi ini benar-benar membuatku bingung,” tulis salah satu netizen di Facebook.
“Itu benar-benar cuma sandal jepit. Nggak terbuat dari kulit burung unta, bebatuan diamante atau terlihat stylish. Cuma sandal jepit,” kritik netizen lainnya.
“Harganya mungkin saja hanya Rp 142 ribuan, tapi bisa jadi Rp 5 jutaan kalau yang jual Hermes,” komentar netizen lagi. (wolipop).
Pembaca detik.com memberi komentar sinis: “Sederhana saja, situ miskin ga mampu beli jadi rame” yang segera saja disambar balasan oleh akun Provokator: “It’s all about worth or not, boy!”
Kali ini saya setuju dengan pemilik akun Provokator, bukan seorang provokator. Semua ini hanya masalah sepadan tidak. Benar sekali. Uang yang kita keluarkan untuk membeli sandal jepit itu sepadan tidak dengan barangnya?
Saya jalan-jalan bersama keluarga di deretan toko branded di New York, saya dan anak bungsu saya mencoba mengintip sebuah toko penjual T.Shirt—benar kaos oblong—yang sepi pembeli. Dengan ramah mereka menyapa kami. Setelah melihat sekeliling kaos-kaos yang dijual, saya dan anak bungsu saya sependapat bahwa barangnya memang bagus dan desainnya pun keren. Lalu apa yang membuat toko itu sepi justru di jam yang ramai pengunjung? Harganya kaosnya gila-gilaan. Satu kaos oblong tanpa kerah dijual seharga lebih dari Rp 7 juta.
Saya dan anak saya segera keluar karena menurut saya harga kaos itu sudah overprice. Value to money nggak cocok dengan barangnya. “Kemahalan ya Pa,” ujar anak saya sambil tersenyum masam.
Pengalaman belanja itu mengingatkan saya tentang obrolan seorang teman yang mengkritik gaya bossy seorang pemimpin muda. “Saya kataka kepada dia, jangan sombong menjadi atasan,” ujarnya, “di Tanah Abang, atasan hanya dihargai goban. Itu pun masih bisa ditawar.”
Tentu saja yang mendengar ngakak bersama.
Pertanyaan yang timbul di benak banyak orang, mengapa orang sudi membeli barang dengan harga selangit? Padahal, jika dikalkulasi secara jujur, harganya jangan-jangan tidak sampai sepersepuluhnya. Persis di bawah artikel, ada tulisan lain berjudul “Saint Laurent Gandeng Havanianas, Rilis Sandal Jepit ‘Fancy’ Rp 900 Ribuan.” Meskipun lebih ‘murah’ dari sandal jepit Hermes, dibandingkan Swallow dan sandal jepit generik, harga segitu sudah membuat orang balik badan sebelum membelinya.
Lebih menyesakkan dada lagi—terutama bagi kalangan bawah—di bawah artikel sandal jepit super mahal itu, ada video yang berjudul “Wow Tas Hermes Ini Terjual Rp 5 Milyar”. Untuk mendapatkan rumah dengan DP 0% saja masyarakat bawah sudah melayang sebelum pemasangan tiang pancang, apalagi membeli tas seharga rumah mewah.
Fenomena apa yang kita lihat di sini? Jurang antara si kaya dan si miskin ternyata terlalu dalam untuk diseberangi, meskipun dengan pembangunan infrastruktur gila-gilaan. Jalan tol yang digadang-gadang bisa menghubungkan pelosok pedesaan dengan gemerlapnya perkotaan ternyata justru membuat orang kalangan bawah terbelalak saat melihat betapa gilanya gaya hidup orang kaya yang snob. Saya mengenal banyak orang kaya yang justru berpenampilan sederhana dan tidak ingin pamer kekayaan.
Sebaliknya, banyak orang yang ‘kaya harta’ tapi ‘miskin rasa’ yang berlomba-lomba untuk tampil wah dan hanya agar ditatap dengan penuh kekaguman atau iri hati? Bukankah perbedaan yang mencolok ini justru membuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jauh panggang dari api?
Kita tentu tidak bisa melarang—apa hak kita? Toh itu uang mereka sendiri—orang untuk membeli sandal jepit super mahal itu, tetapi paling tidak kita bisa mengetuk hati mereka untuk berbagi. Jika membeli sandal yang biasa dipakai ke pasar saja dia berani merogoh kocek sedalam itu, apakah hal yang sama terjadi jika diminta untuk membantu orang yang membutuhkan?