Saya terkesan dengan salah satu tulisan yang pernah saya baca satu tahun yang lalu di salah satu media. Judulnya adalah “Ketika Agama Buddha Dihina, Apa Tindakan Umat Buddha?” by Ajahn Brahm. Ajahn Brahm juga dikenal dengan nama Ajahn Brahmavamso, lahir di London, Inggris 7 Agustus 1951 dengan nama Peter Betts adalah Biksu aliran Theravāda. Dia saat ini bekerja dengan para biarawan dan biarawati dari semua tradisi Agama Buddha di Sangha Association Australia.
Baiklah, kembali lagi ke tanya-jawab antara Ajahn Brahm dengan wartawan yang menanyakan hal tersebut.
“Apa yang Ajahn Bram lakukan bila seseorang memasukkan Kitab Suci Agama Buddha dalam toilet?”
Beliau menjawab: “Saya akan panggil tukang untuk membersihkan toilet dan mengangkat kitab suci itu. Supaya toilet tidak buntu.”
Wartawan itu tertawa dan mengatakan ini baru jawaban yang masuk akal.
Selanjutnya beliau mengatakan: “Saya menjelaskan, seseorang mungkin bisa meledakkan banyak patung Buddha, membakar Vihara atau membunuh Bhiksu dan Bhiksuni, mereka mungkin menghancurkan semuanya, tetapi saya tidak akan pernah membiarkan mereka menghancurkan Ajaran Buddha.
Kalian bisa saja membuang Kitab Suci ke dalam toilet, tetapi saya tidak akan membiarkan kalian membuang pengampunan, kedamaian, dan welas asih ke dalam toilet.
Buku bukanlah Agama, demikian juga dengan patung, bangunan dan para pemuka agama. Ini semua hanyalah “kontainer”.
Apa yang telah buku ajarkan kepada kita? Patung itu merepresentasikan apa?
Kualitas apa yang seharusnya diwujudkan para pemuka agama? Inilah yang disebut dengan “isi”.
Ketika kita dapat mengetahui perbedaan antara “kontainer” dan “isi”, maka kita akan mampu mempertahankan “isi” meskipun kontainernya telah dihancurkan.
Kita dapat mencetak lebih banyak buku, membangun lebih banyak Vihara dan patung-patung, bahkan melatih lebih banyak Bhiksu dan Bhiksuni, tetapi ketika kita kehilangan cinta kasih dan rasa hormat kepada sesama dan diri kita sendiri dan menggantinya dengan kebencian, maka keseluruhan agama itu telah jatuh ke dalam toilet.”
Dari tanya jawab tersebut, kita dapat merasakan Rasionalitas yang khas bagi orang yang telah tercerahkan yaitu tidak mau mencari kesalahan orang yang memasukkan Kitab Suci ke dalam toilet.
Daripada sibuk menyalahkan pelaku, dirinya justru lebih memilih memanggil tukang untuk membersihkan toilet dan mengangkat Kitab Suci itu. Dalam konteks ini bukan Kitab Sucinya yang harus diselamatkan, tetapi supaya toilet tidak buntu.
Dalam konteks kekinian, radikalisme dalam agama Buddha bukannya tidak ada. Sama dengan berbagai agama lainnya, dalam agama Buddha juga terdapat radikalisme seperti yang dicontohkan oleh sekelompok biksu yang dipimpin oleh Ashin Wirathu di Myanmar.
Inilah yang dimaksudkan sebagai orang-orang yang lebih mementingkan “kontainer” daripada isinya. Bisa jadi dia taat beribadah, hapal kitab suci luar dalam, sanggup bermeditasi berjam-jam, tapi bila tidak mampu menyelami makna agamanya dengan baik, tidak mampu menerjemahkan apa yang dipelajarinya dalam perilaku kehidupan sehari-hari, orang-orang seperti ini hanya menguasai kulit, bukan isinya. Akhirnya yang muncul hanyalah ego merasa paling benar dan paling hebat.
Sama halnya seperti kita melihat berbagai kekerasan yang terjadi di masyarakat selama ini dengan bertopengkan agama. Persekusi, pemaksaan kehendak, penganiayaan. Apakah agamanya yang mengajarkan? Tidak. Apakah agamanya yang salah? Tidak.
Yang salah adalah oknum itu sendiri yang tidak mampu memahami dengan baik apa yang diajarkan oleh agamanya, yang salah adalah oknum yang membungkus agamanya dengan kebencian. Secara tidak langsung, orang-orang seperti inilah yang telah menodai dan membuang agamanya ke dalam toilet seperti yang disebutkan oleh Ajahn Brahm diatas.
Artinya apa yang tertera didalam kitab suci, ditelan bulat-bulat tanpa dikaji secara mendalam. Padahal tidak semua isi dalam kitab suci dapat diambil secara harfiah, beberapa bagian bersifat simbolik, ada bagian yang bersifat kondisional, dan ada sebagian lainnya yang perlu penelaahan yang berbeda lagi.
Dalam agama Buddha sendiri, bahkan Sang Buddha dalam Kalama Sutta, mengingatkan agar tidak mempercayai dirinya, tidak mempercayai kitab suci yang ditulisnya, tidak mempercayai guru-guru agamanya tanpa melalui analisa dan observasi mendalam terhadap apa yang diajarkannya.
Namun bila setelah melalui observasi dan analisis, maka ketika kita mendapati hal apapun sejalan dengan akal budi dan menolong kita untuk mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi satu dan semua orang, maka terimalah dan jalankanlah.
“Sabbe satta bhavantu sukhitatta”
สัพเพ สัต ตา ภะ วัน ตุ สุขิตัต ตา
Selamat Merayakan Trisuci Waisak 2562 (2018), Bagi Para Penganutnya.