Coba bayangkan seandainya kita semua serba sama. Wajah sama dan cara berpikir yang sama, serta cara berpakaian yang sama, apa yang akan terjadi? Orang tidak lagi dapat membedakan, mana yang istrinya atau mana suaminya, karena semuanya serba sama. Karena itu Tuhan menciptakan kita berbeda-beda, agar hidup akan terasa semakin indah, karena bisa saling melengkapi.
Namun ternyata tidak semua orang dapat menerima kenyataan, bahwa setiap orang berhak berbeda dari dirinya, malahan ada kelompok yang mencoba memaksakan kemauannya agar orang lain mengikuti cara hidupnya. Akibatnya terjadilah perpecahan dimana-mana.
Perbedaan Tidak Harus Menjadi Jurang Pemisah
Hubungan kekeluargaaan tidak semata mata karena adanya hubungan darah, tapi bisa juga karena jalinan hubungan batin yang tulus.yang menciptakan rasa kekeluargaan yang tidak lekang oleh teriknya mentari dan tak akan lapuk oleh perjalanan waktu. Setidaknya hari ini kami membuktikan bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Kami berbeda dalam berbagai hal.
Beda asal muasal,beda budaya, beda latar belakang kehidupan dan berbeda dalam keimanan. Namun perjalanan waktu,selama hampir dua puluh tahun, sejak awal kami saling mengenal, ternyata sama sekali bukanlah dinding atau sekat yang menjadi dinding pembatas antara kami.
Kemarin, kami diundang untuk makan malam bersama teman-teman di Bandung. Kami di jemput di hotel Gino Perucci dan kemudian dibawa ke salah satu restoran masakan Sunda. Kami berpikir, hanya kami berenam orang, tapi ternyata setibanyanya di sana tampak ada sekitar 30 orang lagi teman-teman lainnya, yang sudah menunggu kedatangan kami.
Ada Pak H.Arifin yang datang dari Garut, ada bu Yulie yang datang dari Slipi di Jakarta, Kolonel Eddy Sarwo dan istri serta teman teman lainnya, yang sudah lama tidak ketemu. Hal ini merupakan sebuah kejutan yang sangat mengesankan bagi kami berdua. Betapa suatu rasa haru memenuhi hati kami,hingga ke relung-relung hati yang terdalam.
Kami saling berebut bercerita tentang nostalgia, di masa-masa kami sering bertemu. Di samping saya duduk bu dokter Endang, yang asyik berbicara dengan istri saya, ada Bu Elisabeth yang tahun ini sudah berusia 78 tahun, ada Bu Sukarti Bu Cucu, Neng Mifta, Eep dan seterusnya.Tak ada sekat, tak ada sikap kaku yang mewarnai perjumpaan kami.
Kalau boleh dikatakan lebih menyerupai pertemuan antara satu keluarga besar. Kami bukan hanya saling berbagi kisah hidup, tapi juga berbagi nasi dan lauk-pauk. Serasa kami tidak ingin kebersamaan ini pergi begitu saja, karena kami akan sangat jarang bertemu.
Karena itu, sementara kami menikmati masakan Sunda yang disediakan, tentu tidak melewatkan kesempatan untuk jepret sana, jepret sini. Saat-saat seperti ini, sekaligus mematahkan paradigma negatif yang selama ini terbentuk, bahwa perbedaan asal muasal dan perbedaan budaya, apalagi berbeda dalam keimanan akan menjadi dinding pembatas dalam hubungan kekeluargaan. Malam ini, kembali kami membuktikan bahwa semuanya terpulang kepada kepribadian masing-masing, sejauh mana kearifan kita dalam menyikapi perbedaan tersebut.
Menjadi Kenangan Indah
Kebersamaan kami malam ini, sejak dari di jemput di hotel, hingga kami menikmati makan malam bersama keluarga besar kami di Bandung tanpa terasa sudah hampir tiga jam berlalu. Mengingat banyak yang tinggal cukup jauh, maka dengan berat hati, kami menyudahi jamuan makan malam yang diikuti oleh lebih dari 30 orang dan ditraktir oleh mas Bambang Jaka Leksana.
Kami diantarkan kembali ke hotel oleh bu Susy Sulastri dan suami serta kedua putrinya yang tampak sudah mengantuk. Kami semua saling bersalama dan pamitan, sambil saling bersalaman dengan erat, dengan harapan kami akan bertemu kembali dalam kondisi yang sehat walafiat.
Sungguh, persahabatan yang tulus, tidak akan terhambat oleh segala macam perbedaan. Sekali lagi kami membuktikan, bahwa hubungan kekeluargaaan yang tidak berdasarkan kepentingan apapun, akan langgeng dan tidak akan pupus oleh perjalanan waktu.
Tjiptadinata Effendi