Kalau kalimat singkat di atas diterjemahkan secara harafiah, maka akan menghasilkan arti tunggal, yakni “Memberi adalah Menerima” Dalam bahasa Indonesia, ada pribahasa yang memiliki benang merah dengan “wisdom words” ini, yakni “Hukum tabur tuai” Barang siapa menabur kebaikan, maka ia akan menuai kebaikan. Akan tetapi perlu dimaknai secara hati-hati, karena bila sampai salah menerjemahkan dan memaknainya, maka yang terjadi adalah “Setiap kali kita menolong orang,dengan berharap, bahwa kita akan mendapatkan balasan kebaikan juga.”
Ketika kita memberikan hadiah, maka dalam pikiran kita akan hadir, bahwa kelak orang yang menerima hadiah dari kita, kelak akan membalas dengan memberikan hadiah lain kepada kita. Hal yang tampaknya sepele, namun sejak dulu hingga kini, gagal paham dalam memaknai Giving is receiving ini, masih terus berlanjut.
Contoh sederhana, ketika ada teman atau kerabat yang berulang tahun atau menikahkan anaknya dan ia memberikan suatu hadiah yang cukup berharga. Maka ketika giliran anaknya menikah dan kerabatnya datang tanpa membawa hadiah, maka dalam hati akan timbul rasa kecewa. Bahkan lebih buruk adalah merasa bahwa kerabatnya tidak tahu membalas budi baiknya.
Perlu Membenahi Diri
Bila salah gagal paham dalam menyikapi makna “giving is receiving” ini dibiarkan berlarut-larut, maka percayalah hanya akan menyebabkan kita menuai kekecewaan demi kekecewaan. Karena orang yang kita tolong, belum akan membalas pemberian atau pertolongan yang pernah kita berikan kepadanya. Bisa jadi kondisi ekonomi yang tidak mendukung atau mungkin ada halangan lainnya, sehingga ia tidak membalas pemberian kita.
Memberikan pinjaman kepada orang yang lagi susah, dengan berharap bahwa kelak ketika kita membutuhkan pertolongan, maka secara serta merta, kita akan ditolong karena kita sudah menabur kebaikan kepadanya maka percayalah kita akan kecewa.
Karena tidak jarang, uang yang dipinjamkan tanpa bunga dan tanpa mengharapkan balas jasa justru akan menjadi bumerang bagi kita, yakni orang yang ditolong, yang dulu adalah sahabat baik kita, semakin hari semakin menjauh dan malahan akhirnya putus hubungan persahabatan. Sehingga kekecewaan kita akan berlipat ganda, yakni uang yang dipinjamkan tidak dikembalikan bahkan diri kita dimusuhi.
Membantu sanak famili yang sedang susah dengan setulus hati, jangan terlalu berharap bahwa orang akan merasa berhutang budi kepada kita dan siap sedia membantu, seandainya kita butuh bantuan. Belum tentu, malahan bisa terjadi bahwa orang yang kita tolong entah karena masalah apa, memutuskan hubungan kekeluargaan dengan kita. Sudah pernah merasakannya? Kalau belum, ya patut disyukuri. Secara pribadi saya sudah kenyang mengalami semuanya
Bukan Berarti Kita Harus Bersikap Apatis Terhadap Penderitaan Orang Lain
Pengalaman-pengalaman buruk seperti yang ditulis di atas, sama sekali bukanlah untuk dijadikan alasan, agar kita bersikap apatis terhadap penderitaan orang orang di sekitar kita. Melainkan justru untuk mengubah sikap mental kita, yakni dari “Giving is receiving“, menjadi “Giving and Giving” atau “Memberi tanpa mengharapkan balasan apapun”
Tidak ada yang salah dengan hukum “tabur dan tuai’ namun jalan yang dilaluinya tidak seperti logika yang ada dalam hukum kita, karena alam sudah memiliki falsafah tersendiri yang jauh lebih arif ketimbang apa yang kita namakan kearifan hidup. Karena alam semesta adalah macro cosmos sedangkan diri kita adalah micro cosmos. Suka atau tidak suka, harus mematuhi hukum alam. Karena itu orang perlu menjadikan alam semesta menjadi guru ilmu kehidupan, sehingga tidak harus menimba kekecewaan sepanjang hayatnya, melainkan bersyukur, karena sudah dapat menjadi pemberi. Mungkin disinilah letak makna dari kalimat “Berbahagialah yang memberi, ketimbang yang menerima”
Memahami Makna Hidup
Ketika gempa bumi memporak porandakan Yogya, saya dan istri mendarat di Solo subuh itu dan kemudian, ditemani oleh pak Gunawan dan istri, kami beli berbagai barang makanan dan kebutuhan lainnya di salah satu supermarket. Kendaraan yang kami tumpangi dengan dikemudikan oleh pak Gunawan, sarat dengan berbagai barang kebutuhan pokok. Kami menuju ke Yogya dan membagikan barang-barang yang kami bawa kepada penduduk, tanpa memilih dan memilah suku dan agama mereka.
Menyaksikan betapa mereka yang sebelum gempa adalah orang yang hidupnya cukup mapan dan kini dalam sekejab harus menadahkan tangan, menunggu sumbangan makanan, sungguh membuat kami merinding. Di saat-saat seperti inilah saya baru menyadari arti dan makna dari kalimat “Berbahagialah yang memberi daripada yang menerima”
Semoga tulisan ini ada manfaatnya sebagai renungan
Tjiptadinata Effendi