Bersyukur itu tidak mudah. Seringkali kita mempermudah dengan memberi kata depan seandainya, misalnya seandainya tidak hujan di pagi hari, seandainya tidak buru-buru, seandainya jalanan di depan stasiun Gondangdia tidak ada lubang, maka kakiku tidak “kesleo” karena terkilir di senin pagi kemarin.Kejadian yang hanya beberapa detik membuat nuansa seharian menjadi berantakan. Waktu berkejaran antara dua tas yang bergelantung di bahu, hp ditangan setelah pesan ojek online dan bertelepon, lalu suasana hujan gerimis menjadi tambah deras. Ketika ingin menyimpan hp dan sekaligus melangkah menghindari rintik hujan, tiba-tiba kaki seakan terpelintir di trotoar depan stasiun.
Aku teriak tanpa suara, kesakitan seakan tak rela mendapatkan kesialan di senin pagi. Sekilas aku lihat lubang karena semen penutup jalanan menghilang dari tempatnya dan menyisakan sepuluh centimeter jarak yang membuat kakiku terpelintir. Akupun mencari biang kesalahan ini entah siapa?
Hujan pagi hari, tentu aku tak akan menyalahkan hujan, apalagi Tuhan yang mengirim hujan. Tak akan berani aku berpikir Tuhan salah waktu mengirim hujan. Dalam hati aku suka hujan, bahkan rela berbasah-basah, ke kantor, asal bisa melewati hujan dengan segera. Toh dalam hati kecilku berkata, seandainya tidak ada hujan, kakiku tak akan sakit terkilir.
Jalan di belokan stasiun Gondangdia, entah siapa yang harusnya bisa kutuntut. Petugas perawatan jalan, atau bapak kepala stasiun? Entah dimana juga bisa kutenemui mereka. Yang ada hanyalah tukang ojek yang menggeleng melihatku kesakitan, dalam hatinya menghitung korban ke sekian kalinya yang terkilir di belokan jalan depan stasiun. Toh dalam hati kecilku berkata, seandainya tidak ada lubang ini, kakiku tak akan terasa sakit terkilir di senin pagi.
HP kecilku, aku menumpahkan kekesalan, seandainya aku sedetik memasukkan hp ke dalam tas, maka mataku tak melihat lubang di langkah ke empat atau lima mulai melangkah. HP kecil yang selama bisa menyala cukup membantu kegiatanku. Toh dalam hati kecilku berkata, seandainya aku bisa lebih cepat sedikit menyisihkan hp itu dari pandangan jalan, mungkin aku bisa melihat arah langkah kakiku dan tak akan terkilir.
Entah berapa lagi aku menyisakan kata untuk seandainya, namun senyatanya, aku seharian menahan sakit di kaki kanan yang terkilir, bahkan di sore hari ketika aku melewati kembali belokan stasiun itu untuk kembali ke rumah. Dan semakin sakit karena harus melewati tangga-tangga stasiun untuk menaiki kereta yang ke Bogor dan entah berapa lama lagi harus tertatih-tatih mengayunkan kaki kanan dengan kenyerian.
Senyatanya, sakit di kaki adalah bagian yang harus kuterima dan hadapi di hari seninku kemarin. Bahkan perlu lebih dari 24 jam untuk kemudian menambahkannya menjadi “seandainya pun”, kakiku terkilir, apakah aku tetap bersyukur? dan itulah kenyataannya? kaki yang harus mendapatkan perawatan, karena ketidak-hati hatian melangkah justru di lima langkah pertama dari belokan Stasiun Gondangdia itu.
Nyatanya bersyukur itu proses yang tidak mudah..