Pada awal tahun ’88 saya bekerja di perusahaan penebangan kayu yang berlokasi di distrik Sawaerma Asmat, Kabupaten Merauke. Sungguh beruntung bisa masuk ke wilayah Asmat tanpa biaya alias gratis, tentunya dibiayai oleh perusahaan. Pada saat itu bahkan sampai sekarang, wilayah Asmat merupakan destinasi wisata budaya yang sudah mendunia. Masyarakat Asmat sangat piawai membuat ukiran kayu yang eksotik dan indah. Kampung hunian masyarakat Asmat biasanya berada dipinggir sungai besar atau anak sungai, kehidupan mereka sehari – hari bernuansa primitif yang kental.
Berinteraksi dengan masyarakat suku Asmat sungguh merupakan pengalaman yang sangat mengesankan. Proses penebangan kayu sepenuhnya dikerjakan masyarakat Asmat sesuai wilayah hak ulayat masing – masing suku. Mereka bekerja dengan membentuk kelompok, biasanya di satu desa terdiri dari 7 sampai 10 kelompok. Tidak ada ketentuan jumlah anggota dalam kelompok. Tugas kelompok kerja adalah menebang kayu menggunakan kapak lalu mengupas kulit kayu. Batang kayu yang layak tebang minimum berdiameter 50 cm. Kayu yang ditebang hanya kayu timbul artinya batang kayu tersebut mengambang di air.
Pada saat itu tidak semua masyarakat Asmat paham terhadap nilai mata uang Rupiah, pecahan terbesar adalah Rp. 10.000,-. Pembayaran kayu masyarakat biasanya dilakukan perusahaan di balai desa Sawa tempat perusahaan berada. Pembayaran dilakukan bersamaan beberapa desa oleh juru bayar perusahaan dan disaksikan oleh perwakilan Tripika setempat yang diwakili oleh anggota Polsek, Koramil, serta pegawai Kecamatan. Saya berposisi sebagai juru bayar perusahaan.
Bagi masyarakat Asmat mata kapak besi merupakan barang yang penting, disamping berfungsi sebagai alat untuk menebang kayu, mata kapak besi juga digunakan sebagai mas kawin. Kalau jaman dulu kapak batu digunakan sebagai mas kawin. Ada kebiasaan unik masyarakat Asmat yaitu mengkonsumsi sejenis ulat putih yang montok. Ulat tersebut adalah larva kumbang merah, biasa terdapat dibatang pohon sagu yang sudah membusuk. Oleh masyarakat disebut ulat sagu ( hynchophorus ferruginesus ) , tubuhnya sebesar jari kelingking orang dewasa. Ulat sagu ini banyak mengandung protein dan lemak.
Ulat sagu dikonsumsi dengan cara dibakar seperti sate atau dibungkus daun lalu dibakar, juga dikonsumsi mentah. Bagi yang belum pernah makan, ulat sagu ini termasuk kuliner ekstrim. Perlu tambahan keberanian untuk mencoba konsumsi ulat yang berasa lezat dan gurih ini. Kendala utama mengkonsumsi ulat ini adalah perasaan jijik dan geli melihat bentuknya yang putih menggeliat, empuk dan montok. Karena sering melihat begitu nikmatnya orang menyantap ulat sagu, maka akhirnya saya tergugah untuk mencoba. Tentu dengan memompa keberanian menyingkirkan rasa jijik dan geli. Setelah mencoba, baru terasa banget sensasi gurih dan kenyalnya ulat sagu. Sampai saat ini kadang masih ada keinginan menikmati kelezatan ulat sagu lagi. Di pasar tradisional daerah Papua, ulat sagu biasa dijual. Ulat sagu tidak pernah lepas dari budaya kuliner Papua karena telah disediakan oleh alam.
Tanah Papua merupakan Anugerah dan Berkat yang diberikan oleh Tuhan, bahan pangan begitu melimpah, sagu tumbuh subur tanpa ditanam, ikan di laut, ikan di sungai tinggal diambil, rusa dan babi hutan banyak terdapat di padang rumput dan hutan, aneka burung dan satwa lainnya. Tugas masyarakat hanya merawat dan melestarikan alam yang begitu kaya dan indah. Mudah –
mudahan tanah Papua tetap Lestari sampai akhir jaman.
Demikian sepenggal kisah hidup di padalaman Papua, moga bermanfaat.
Salam Papua Lestari
Trailer kuliner ulat sagu