
Judul yang aneh sebenarnya. Tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bacanya dengan gaya bahasa Jawa saja. Dengan demikian, maksud judul kalimat diatas menjadi memiliki makna : “Orang awam yang bertingkah seolah-olah dokter”.
Ya, dalam artikel kali ini saya berusaha untuk menjelaskan mengenai perilaku (beberapa) orang yang memiliki ‘kemampuan analisis medis’ terhadap suatu penyakit. Terlihat seperti keren, tapi lebih ke menyesatkan. Dan ini sangat berbahaya sekali.
Contoh pertama. Ada seorang pasien dengan tekanan darah 190/100. Keluhan tidak ada. Pasien ini mengatakan bahwa dia sehat-sehat saja. Seorang temannya berkomentar,”Ya berarti tensi normal kamu memang segitu. Lagian kan kamu ga ada keluhan sakit kepala kan? Ga ada keluhan pusing kan? Ya tidak apa-apa itu..”. Benarkah demikian? Benarkah pasien dengan tekanan darah seperti itu dan tanpa keluhan klinis tidak apa-apa?
Inilah yang saya bilang menyesatkan. Komentar seperti ini adalah komentar yang tidak bertanggungjawab. Tanpa ada bukti empiris yang mendukung pernyataannya, tanpa ada bukti dari jurnal-jurnal ilmiah, bahkan tanpa pendapat ahli dari pakarnya. Bisa dibayangkan tidak apa yang kemungkinan terjadi pada pasien ini jika mengikuti pendapat temannya?
Berdasarkan JNC VIII dan jurnal Amerika dan Eropa (salah satunya : http://c.ymcdn.com/sites/www.aparx.org/resource/resmgr/CEs/CE_Hypertension_The_Silent_K.pdf), tekanan darah dewasa normal adalah dibawah 140/90 mmHg. Sedangkan untuk usia diatas 60 tahun, target tekanan darah adalah 150/90. Bila sudah segitu atau diatas itu, sudah digolongkan Hipertensi. Dan harus diobati. Baik dengan edukasi mengenai gaya hidup, maupun dengan terapi kuratif.
Mengenai kondisi klinis yang tidak ada keluhan, justru itu yang lebih berbahaya. Berapa banyak pasien-pasien yang mengalami kegawatdaruratan dibidang jantung hanya karena merasa tidak ada keluhan sebelumnya. Justru dengan timbulnya keluhan, itu menjadi sebagai suatu alarm bahwa kondisi kita tidak sedang baik-baik saja. Jadi, ketika secara pemeriksaan ditemukan keabnormalan sementara pasien tidak ada keluhan, pasien harus lebih waspada.
Hal yang juga makin memperparah hal itu adalah. Terdapat suatu tautan, yang menyatakan bahwa tekanan darah yang tinggi itu bila 140/90 (http://www.tergemes.com/2016/10/ukuran-tekanan-darah-normal.html).
Sebagai sebuah pembanding, saya akan menceritakan seorang kerabat saya yang juga memiliki kejadian yang serupa.
Beliau ini awalnya masuk rumah sakit untuk operasi tonsil (amandel). Keluhan tidak ada, selain amandelnya yang memang sudah perlu dilakukan tindakan pengangkatan.
Ketika dirawat inap dan dilakukan pemeriksaan fisik, baru diketahui bahwa tekanan darahnya 190/110. Bahkan pernah 200/110. Beliau kemudian dikonsulkan ke dokter jantung, karena dengan tekanan darah seperti itu tidak mungkin dilakukan operasi. Risiko nya besar. Maka oleh dokter jantungnya, diberi terapi untuk menurunkan tekanan darahnya hingga sesuai dengan target yang diinginkan. Operasi nya ditunda sampai 2 hari hingga target tekanan darah tercapai. Padahal tidak ada keluhan sama sekali.
Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa kondisi tekanan darah seperti ini tidak bisa dianggap “Ya itu berarti tekanan darah normalnya dia”. Ini bisa berbahaya sekali. Padahal, dengan mengembalikan tekanan darah sesuai dengan target yang ada, akan membantu orang tersebut mencapai keoptimalan hidup yang sehat.
Contoh yang kedua.
Seorang bayi berusia 5 bulan dengan suhu badan 38,7 derajat celcius. Ibunya kuatir dan bertanya kepada tetangganya yang sudah memiliki banyak anak. Oleh tetangganya disarankan untuk disusui, dipakaikan baju yang tebal supaya berkeringat sehingga panasnya turun dan dikompres air es serta diberi obat penurun panas. Terlihat sangat bijak dan menolong ya? Tapi ada yang keliru dari saran ibu ini.
Berdasarkan jurnal ilmiah dan rekomendasi dokter anak, (Canadian Pediatric Society), bayi berusia dibawah 6 bulan, ketika mengalami demam harus dibawa ke dokter. Mengapa? Karena bayi berusia dibawah 6 bulan begitu rentan untuk mengalami penyakit lanjutan akibat demam. Salah satunya kejang demam.
Juga mengenai sarannya untuk mengompres dengan air es. Hal ini berbahaya, karena mengompres dengan air dingin justru berpotensi makin meningkatkan keadaan demamnya. Mengompres hendaknya dengan air biasa, itupun disarankan tidak yang langsung bersentuhan dengan kulit.
Selanjutnya, membungkus bayi dengan pakaian tebal dengan tujuan berkeringat banyak sehingga demamnya turun juga saran yang salah. Hal tersebut malah akan membuat panas terperangkap dalam tubuh bayi. Pakaikan dengan pakaian yang cukup nyaman sudah cukup.
Bisa dilihat kan dari kedua contoh diatas? Apa yang mungkin terjadi pada pasien bila saran tersebut diikuti?
Pengetahuan yang didapat berdasarkan pengalaman tidak selalu salah. Kadang ada benarnya juga. Tapi sebagai kalangan yang telah diberi kepercayaan sah baik secara institusi kampus maupun negara untuk menangani manusia, dokter bekerja sesuai dengan protokol, konsensus, publikasi ilmiah, jurnal, serta textbook yang telah teruji secara empiris. Hal ini jauh lebih akurat daripada pendapat berdasarkan pengalaman. Bukan saja akurat, tapi menenangkan dan aman.
Mengenai keunikan setiap pasien, itu pun tentu sudah dipahami oleh dokter. Karena itu pola terapi yang dipakai bisa sangat berbeda antara dokter satu dengan yang lain. Semua sesuai dengan referensi mana yang dipakai. Tapi secara keseluruhan, referensi yang dipakai mengikuti satu ketentuan besar yang telah disusun oleh para ahli.
Jadi, lebih memilih pendapat dokter, atau pendapat mereka yang nge-dokter-i?
Selamat Ulang Tahun untuk IDI.
Satu IDI terus maju..