Draf RUU rancangan DPR #Ananghermansyah dkk, yang berisi sejumlah pasal ‘menggelitik.’
* Salah satunya Pasal 5 tentang larangan penciptaan musik.
Menjelaskan,:
Dalam proses kreasi musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum, dilarang membuat konten pornografi, dilarang memprovokasi pertentangan antar kelompok, dilarang menodai agama, dilarang membawa pengaruh negatif budaya asing dan dilarang merendahkan harkat serta martabat manusia.
Pasal ini adalah pasal karet yang akan terjadi multi tafsir.
Tergantung masing masing kepala menterjemahkan.
Contoh:
Syair lagu Iwan Fals ” Lonteku terima kasih atas pertolonganmu di malam itu”
Masing-masing orang pasti beda menafsirkan pertolongan sang “lonte”.
Bisa jadi karena mendapatkan kepuasan sehabis “nganu”.
Bisa juga habis di kasih makan, minum atau saweran yang banyak sekali sampai sedompet-dompetnya ketika mengamen di tempat portitusi ( ini pernah saya alami). Maaf bang Virgiawan Listanto
Dan macam-macam tafsir lagi.
Lagu JUANCOOK IKU SAKTI ( Sawung Jabo ).
GONJANG GANJING( Anto Baret II ).
Bahkan lagu MAJU TAK GENTAR bisa jadi profokatif jika tidak di tempatkan pada konteksnya.
Dan masih banyak karya-karya yang akan multi tafsir yang berujung pidana.
Contoh lagi…
Lagu “Ora Kuat Mbok” karya sahabat saya Arif Citenx, lagu berbahasa jawa, ada kalimat:
“Wis ora kuat aku wis ora tahan aku timbang engko paiman iki selak nesu, rabekno to mbok engko tak gawekne putu”.
Apakah mengandung unsur pornografi.. Tergantung tafsir masing-masing.
Tapi sudahlah, pasal ini banyak di tentang musisi.
Anang Hermansyah pun dalam wawancara di Youtube tidak setuju, saya yakin akan di batalkan.
* Lanjut pasal 18.
Pertunjukan musik melibatkan promotor.
Bagaimana dengan musisi jalanan seperti kami yang sering merasa muak dengan syarat-syarat dari promotor, karena promotor biasanya mengutamakan keuntungan bisnisnya?.
Dan bagaimana dengan kami yang hanya mampu menggelar pertunjukan di jalanan, karena kami tidak punya kemampuan untuk menembus promotor atau penyelenggara pertunjukan musik besar?.
Sedangkan sekarang ini saja tidak jarang kami diusir/ditangkap aparat satpol PP ketika menggelar street musician dengan alasan melanggar perda dan lain sebagainya.
Di mana ruang buat musisi jalanan?.
DPR yang terhormat..
Sudah cukup lama kami ( musisi jalanan) berharap anda dan pemerintah menyediakan ruang legal bagi kami untuk berekspresi dan berkreasi.
Tidak perlu mewah, kami tidak butuh panggung regging atau kerlap kerlip lighting.
Cukup legalkan di suatu area tertentu atau di taman kota di setiap daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Agar kami punya ruang berkesenian dan ruang bersilahturahmi dengan seniman jalanan seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia.
Yang mana tidak menutup kemungkinan ruang itu menjadi area destinasi pariwisata.
Perlu di catat juga, tidak semua musisi jalanan mengejar panggung besar.
Karena tidak sedikit yang idealis sebagai street musicians.
Saya sendiri sering mendapatkan klimaks bermusik di jalan dari pada di panggung besar yang banyak aturan.
Kami tidak butuh gedung pertunjukan megah yang kata anda adalah rekomendasi dari Konferensi Musik Indonesia.
Karena gedung itu tentu bukan buat kami dan saya yakin itu hanya untuk pemusik besar.
Jikalaupun buat kami juga, bayangkan berapa tahun kami harus mengantre untuk bisa menggelar pertunjukan di sana.
Kami sadar, musisi jalanan adalah kasta terendah walaupun banyak musisi besar terlahir dari jalanan.
* Berlanjut ke pasal 32 tentang uji kompetensi.
Jika mau dianggap profesi harus mau mengikuti uji kompetensi untuk sertifikasi.
Mungkin seperti pengemudi yang harus memiliki SIM.
Menyimak wawancara antara Anji dan Anang di YouTube.
Di sana ada diskriminasi antara musisi besar, setengah besar, kurang besar dan besar sekali ( diskriminasi menurut cara pandang saya).
Bahwa musisi seperti Anang, Anji, Asyanti, Slank, Iwan Fals, tidak perlu lagi mengikuti uji kompetensi karena sudah bla ..bla.. blaaa… apalah itu….
Ibaratnya jika seorang sopir sudah mengemudi puluhan tahun atau mengaspal ribuan kilo, dia tidak perlu lagi membuat SIM.
Bahkan mungkin akan di buatkan SIM yang lebih gede.
Pertanyaan saya..
Bagaimana cara mengkatagorikan musisi yang wajib mengikuti uji kopetensi dengan yang tidak wajib.
Anang mengatakan “musisi yang baru bermain gitar tidak bisa di samakan, dengan yang sudah puluhan tahun.
Bagaimana dengan yang baru belajar tapi serius hingga cepat mahir.
Di bandingkan dengan yang lama tapi hanya tahu C – A minor – D minor – ke G – ke C lagi?.
Atau mereka yang sudah cukup lama bermusik tapi tidak ngetop-ngetop dan karyanya tidak di kenal?.
Sedangkan fenomena sekarang banyak yang ngetop dengan cara instan (alay2 an, tiktok2 an, lipsync2 an).
Kemudian karena ada sponsor/promotor yang melihat potensi bisa di jual, dia di viralkan lalu jadilah pekerja seni yang fenomenal dan terkenal yang tak lama beredar kemudian terbuang….
Hmmm.. kapokmu kapan wes…
Lanjuuuut…
Bagaimana dengan musisi yang ngetop karena menjiplak karya orang lain?.
Stigma Indonesia adalah tukang “jiplak”. Sudah melekat dan sudah menjadi rahasia umum.
Sehingga hal memalukan ini sudah dianggap biasa.
Bahkan lagu nasional ” IBU PERTIWI” adalah karya yang identik dengan lagu “what a friend we have in jesus”.
Seidentik lagu “Kopi dangdut” dengan “Moliendo cafe”. ( dalam hal ini saya tidak mengatakan kita menjiplak, tapi kembar siam).
Memang sih, selama yang punya lagu atau ahli warisnya tidak bereaksi, itu tidak masalah.
Tapi bagaimana jika nanti mereka menuntut royalti pada negara dengan menyebut angka-anggka seenak udelnya?
Belum lagi rasa malu kita.
Apakah mas Anang dkk tidak merasa malu?
Luruskan dong mulai sekarang, biar tidak menjadi beban bangsa ini di kemudian hari.
Kan banyak lagu Indonesia yang layak menjadi lagu nasional seperti “Kebyar Kebyar” dari almarhum Gombloh dan lain lain.
Bagaimana dengan yang terpeleset kasus asusila, narkoba, ujaran kebencian atau pelanggaran hukum lain didalam/di luar permusikan yang akhirnya di penjara?
Sedangkan karya-karya mereka adalah karya yang inspiratif dan di terima masyarakat.
Layakkah mendapat lisensi?
Hmmm tambah mumet wes ndasku….
Jika draf RUU ini di undangkan, saya kawatir kalian akan sibuk lagi membuat RUU tentang syarat-syarat menjadi musisi/seniman .
Misalnya harus ngurus SKKB, surat kesehatan, surat ijin dari istri pertama dll.
Atau mungkin akan menyamakan dengan syarat-syarat menjadi capres cawapres… Wes emboh lah..
Anang sebagai DPR berdalih bahwa RUU itu mengacu aspirasi masyarakat.
Antara lain dari ISI sebagai pemusik intelektual dan rekomendasi dari Konferensi Musik Indonesia di Ambon.
Apakah ada keterwakilan dari musisi jalanan seperti kami?
Misalnya di wakili oleh sam Anto Baret yang kami anggap sebagai presidennya seniman jalanan..
*******
Jadi kesimpulan saya adalah..
*MENOLAK DRAF RUU PERMUSIKAN.
*MEMBERIKAN KEBEBASAN BAGI PEMUSIK UNTUK BERKARYA DAN BIARLAH MASYARAKAT YANG MENILAI.
*MENDORONG PIHAK-PIHAK TERKAIT UNTUK MENCIPTAKAN RUANG LEGAL BAGI SENIMAN JALANAN.
Penulis: Yon Gondrong – One Man Band Indoneaia (OMBI)