Cerita ini sebenarnya sudah cukup lama yakni saat masih kampanye pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu, ketika itu Sandiaga Uno meminta agar polisi menunda pemeriksaan terhadap kasus dugaan tindak pidana penggelapan penjualan lahan di Jalan Curung Raya, Tangerang, Banten, pada 2012.
Namun alih-alih memenuhi panggilan tersebut, Sandiaga lebih memilih mangkir, dengan alasan kesibukan kampanye. Bukan itu saja, Sandiaga Uno juga meminta pengusutan kasusnya ditunda hingga setelah pilkada.
Djarot yang dimintai pendapatnya oleh awak media ketika itu pun ikut berkomentar. Dirinya membandingkan Sandiaga dengan Ahok dalam hal menghadapi proses hukum. Djarot mengatakan, Ahok selalu hadir di sidang kasus dugaan penodaan agama setiap Selasa.
“Pak Ahok itu lho setiap Selasa masih disidang, enggak pernah mangkir, taat pada hukum ya enggak,” ujar Djarot di Kebon Jeruk, Selasa 21 Maret 2017.
Sandiaga yang merasa tersindir kemudian balik menyerang Djarot yang dinilainya tak mengerti kasus penjualan tanah yang melibatkan orang tajir.
“Ini perseteruan dua orang Superkaya, mungkin Pak Djarot enggak ngerti kasusnya, kasihan juga komentar sesuatu hal yang dia tidak mengerti, tapi itu sah-sah saja, namanya berkampanye,” katanya di Recapital Building, Melawai, Jakarta Selatan, Selasa 21 Maret 2017.
Seakan belum puas, keesokan harinya Sandiaga Uno pun mengulang kembali pernyataannya kepada awak media.
“Tentunya kasus itu sudah dilaporkan, yang bertikai itu orang yang sangat Superkaya. Saya ingin mengimbau, yuk kita balikkan pilkada ini, pikirkan warga yang tentunya menginginkan solusi terhadap masalah yang dihadapkan. Orang super kaya ini memiliki koneksi yang kuat, punya kuasa, dan punya kemampuan untuk menggerakkan,” katanya di Kemang, Rabu 22 Marer 2017.
Sejak itu istilah Superkaya yang disematkan oleh Sandi untuk dirinya beserta lawan seterunya pun sempat populer. Sedangkan Djarot lebih memilih tidak bereaksi. Meski Djarot sudah diam, Sandi masih menyerang Djarot dengan menyebut Djarot tidak tahu hukum bahkan menyuruh Djarot untuk berkonsultasi dengan ahli hukum.
Tidak dianya, serangan yang dia lemparkan dulu kepada Djarot, harus dia tuai berbalik menampar mukanya sendiri. Tamparan itu datangnya bukan dari Djarot, namun dari Jokowi.
Saat berkunjung ke Provinsi Lampung, Presiden Jokowi menghadiri Rapat Kerja Tim Kampanye Daerah (TKD) Koalisi Indonesia Kerja (KIK) Provinsi Lampung di Graha Wangsa Golden Dragon, Bandar Lampung, Sabtu 24 November 2018 kemarin.
Jokowi sempat menyampaikan agar isu bahan pangan tidak di goreng untuk kepentingan politik. Justru semua pihak harus membantu mempromosikan pasar tradisional agar perekonomian masyarakat terus meningkat.
“Jangan masuk pasar enggak beli apa-apa. Orang enggak pernah ke pasar, malah keluar bilang mahal. Mungkin orang Superkaya, dateng tau-tau ke pasar, enggak beli apa-apa tau-tau bilang mahal mahal mahal. Yang kasian pedagang pasar, nanti ibu-ibu enggak mau ke pasar, malah ke supermarket semua. Justru harus dipromosikan pasar trasional,” kata Jokowi.
Walaupun Jokowi tidak mengucapkan nama, namun tentu kita sudah bisa meraba siapa orang Superkaya yang dimaksud oleh Jokowi. Apalagi sejak mendekati pilpres, orang Superkaya tersebut mendadak rajin berkunjung dari pasar ke pasar.
Pola yang sama yang ditunjukkan saat mengikuti pilkada DKI dulu, rajin turun ke bawah menyapa masyarakat, keluar masuk gang bahkan keluar masuk pasar pun mereka lakoni. Apapun yang diminta masyarakat, berani dijanjikan termasuk yang tidak masuk akal sekalipun, soal bisa direalisasikan atau tidak, urusan belakangan. Setelah menjabat? Jangan harap, bahkan tirai balaikota pun mereka tutup rapat.
Kembali ke ungkapan Jokowi terkait Orang Superkaya Yang Masuk Pasar Gak Beli Apa-Apa, Pas Keluar Bilang Mahal sebenarnya merupakan upaya Jokowi untuk menelanjangi sifat asli si orang superkaya yang dimaksud. Meskipun terdengar sederhana, namun memiliki makna yang dalam kalau kita mau merenungi maksud dari kata-kata yang disampaikan oleh Jokowi tersebut.
Dibalik tindakannya yang seringkali terkesan konyol, lucu dan aneh seperti menaruh petai di atas kepala, menggunakan tempe sebagai hp atau teropong, setidaknya ada empat karakter asli yang bisa kita lihat dari sifat orang Superkaya tersebut, yakni pelit, culas, manipulatif dan provokatif. Bagaimana tidak pelit dan culas bila dirinya ingin mengorek informasi dari para pedagang tanpa mau mengeluarkan duit sepeser pun?
Coba bayangkan bila kita berada di posisi si pedagang yang ditanya oleh si orang Superkaya tersebut, nanya harga ini itu dari A sampai Z lantas ngeloyor pergi tanpa beli apa-apa. Sudah itu di depan pasar, di hadapan awak media, memprovokasi dengan menyebut harganya mahal. Geram? Sudah pasti, kesal? Jangan ditanya lagi.
Memang benar bila sesekali dia masih mau berbelanja, namun menurut saya, itu hanyalah upaya untuk menutupi sifat aslinya.
Khusus sifat pelit, culas dan manipulatif, sebenarnya bila kita mau jeli, sudah terlihat saat dirinya menjabat sebagai wagub DKI Jakarta. Tentu kita masih ingat bagaimana dirinya mengadakan sayembara desain sepatu dan juga janji memberangkatkan peserta Ok-Oce dengan menggunakan UANG PRIBADINYA. Itu janji keluar dari mulut dia sendiri lho..
https://www.Indovoices.com/umum/sandi-lepas-tangan-dari-janji-hadiah-peserta-ok-oce-hingga-sayembara-sepatu-pantofel/
Faktanya, pengumuman pemenang sengaja ditunda berkali-kali, sampai kemudian saat dirinya mencalonkan diri sebagai Cawapres, janji itu pun diingkari, mau dilempar dan dibebankan ke APBD DKI Jakarta.
Tentu pembaca akan berujar, ah itu kebetulan saja pak penulis, kalau dia tidak mencalonkan diri, pasti akan ditepatinya. Benarkah demikian? Saya tidak akan mendebat Anda, cukup anda membaca link di bawah ini saja.
poskotanews.com/2017/11/29/dana-operasional-sandi-rp-18-miliar-tidak-jadi-untuk-zakat-tapi-dipakai-sendiri
You see? Jadi bila kita menilik sifatnya yang saya sebutkan di atas, pelit, culas, manipulatif dan provokatif, mau tidak mau membuat saya berasumsi berbagai kisah miring terkait orang Superkaya ini, bisa jadi memang benar adanya. Termasuk isu-isu yang menceritakan bagaimana dirinya menipu orang tua angkatnya, terlibat penggelapan tanah serta berbagai kasus lainnya, meskipun bisa jadi karena sangkin licinnya, belum ditemukan bukti untuk menjeratnya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kita masih cukup waras, dengan membiarkan orang “Superkaya” yang memiliki sifat manipulatif seperti ini memimpin Indonesia? Karena jujur saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan Indonesia bila dipimpin oleh orang-orang seperti itu. Kalau anda?