Papua dan Papua Barat itu raksasa yang tidur. Ketika raksasa itu kelak berhasil dibangunkan, dan bergerak, sangat mungkin dua provinsi itu tumbuh menjadi provinsi terkaya di Indonesia.
Renungan itu seketika tersirat ketika membaca dua data dunia. Pertama, hasil riset dari mining.com. Situs berita khusus tambang itu membuat list 10 tambang emas terbesar di dunia. Nomor satu adalah Grasberg yang ada di pulau Papua, Indonesia.
Resources yang ada di Papua melampaui semua sumber daya di belahan dunia lain, baik di Muruntau, Uzbekistan, atau di Goldstrike, Amerika Serikat, ataupun di Olimpiada, Rusia.
Padahal sudah pula menjadi pengetahuan umum. Grasberg itu hanya satu wilayah yang sudah kasat mata. Yang masih tersimpan, tersembunyi dalam kawasan Papua dan Papua Barat, siapa yang bisa duga?
Kedua, hasil riset dari situs lingkungan hidup Conservation. org. Kawasan paling kaya untuk keragaman hidup bawah laut ada di Papua, Indonesia. Kekayaan flaura dan fauna di sana juga tak tertandingi wilayah lain di seluruh dunia.
Provinsi mana lagi yang bisa menyaingi Papua dan Papua Barat untuk kekayaan tambang dan flora- fauna? Bukan hanya tak ada provinsi di Indonesia yang mendekati kekayaan itu, tak ada pula provinsi di kawasan dunia lainnya.
Papua adalah masa depan Indonesia. Jika infrastruktur terus tumbuh di Papua, menghubungkan aneka area strategis, jika politik di sana cukup stabil, jika dapat dikondisikan suasana membangun yang harmoni, lima puluh tahun dari sekarang, akan tumbuh taman firdaus di sana.
-000-
Karena itu, saya selalu optimis tentang Papua. Aneka gejolak yang selalu muncul setiap tahun, mulai dari pembakaran gedung pemerintah hingga rumah ibadah, mulai dari isu kemiskinan hingga separatisme, itu hanyalah riak-riak.
Jalur gelombang utama itulah yang menjadi inti. Riak- riak hanya nuansa sekitar yang temporer. Namun jika tak di atasi, riak -riak itu dapat pula menenggelamkan gelombang utama.
Apa gelombang utama di Papua? Lihatlah data pemilu 2019. Partisipasi politik rakyat Papua dan Papua Barat dalam pemilu presiden 2019 sangatlah tinggi. Golput di Papua dan Papua Barat jauh lebih kecil dibandingkan Golput nasional.
Golput Piplres 2019 di Papua hanya di bawah 10 persen dan di Papua Barat di bawah 16 persen. Padahal Golput pilpres nasional sekitar 19 persen.
Lihat pula kemenangan Jokowi pada pilpres 2019. Kemenangan Jokowi di Papua dan Papua Barat jauh melampaui kemenangan Jokowi dalam rata rata nasional.
Jokowi menang di Papua tahun 2019 di angka 90 persen. Di Papua Barat, Jokowi menang di angka 79 persen. Padahal secara nasional, Jokowi hanya menang 55,5 persen.
Kemenangan Jokowi di tahun 2019 bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014. Di Papua, Jokowi menang pilpres di 2014, sebesar 72,49 persen. Di Papua Barat di tahun 2014, Jokowi menang 67, 63 persen. Ada kenaikan dukunngan untuk Jokowi di dua provinsi itu, masing masing di atas 10 persen dalam 5 tahun (2014-2019).
Sah untuk ditafsir. Rendahnya angka golput di Papua dan Papua Barat menunjukkan mayoritas rakyat di sana semakin menyatu dengan Indonesia. Sedangkan menaiknya dukungan untuk Jokowi di pemilu 2019 mau ditafsir apalagi? Tafsir yang paling oke: mayoritas masyarakat semakin puas dengan pemerintahan Jokowi.
-000-
Namun tetap ada catatan sangat penting. Berdasarkan data BPS 2018, baik Papua ataupun Papua Barat termasuk dua provinsi paling miskin di Indonesia. Jika diukur dari prosentase jumlah populasi di bawah garis kemiskinan, di Papua dan Papua Barat, prosentase kemiskinannya tertinggi.
Di Papua, prosentase penduduk miskin sebesar 27, 24 persen. Di Papua Barat, prosentase penduduk miskin 23.12 persen. Jumlah itu melamapui provinsi NTT, Maluku, Gorontalo dan Aceh.
Inilah ironi. Di dua provinsi yang potensial paling kaya, hidup masyarakat yang kini paling miskin! Ini bukan saja ironi politik, tapi aib peradaban!
Tapi perhatian pemerintah pusat pada Papua dan Papua Barat sangatlah terasa lima tahun belakangan ini. Lihatlah upaya menghubungkan aneka wilayah di dua provinsi itu.
Pembangunan jalan berhasil membuka daerah terisolasi hingga 3.259 kilometer di Papua dan 1.071 kilometer di Papua Barat. Jarak itu empat kali panjang Pulau Jawa. Yang dibuka tak hanya jalan Trans-Papua. Tapi juga jalan akses dan perbatasan, bandara, pelabuhan.
-000-
Cafe Tji Liwoeng sebuah simpul budaya di daerah condet, pimpinan aktivis Agus Edy Santoso, punya cara yang unik. Cafe itu dibuka dengan diskusi masalah Papua. Aneka tokoh Papua dan aktivis diundang menikmati racikan kopi dan mie aceh.
Tak lupa racikan olah pikir juga disajikan. Itu tak lain diskusi dengan tema yang sedang hot. Ialah teriakan “monyet” kepada mahasiswa Papua di Surabaya, bulan Agustus ini. Lalu diikuti dengan dibakarnya gedung pemerintahan di Papua Barat.
Saya diundang untuk ikut menikmati racikan kopi dan mie aceh itu. Oleh- oleh apakah yang bisa saya bawa? Esai ini menjadi oleh oleh saya untuk Cafe Tji Liwoeng, disertai harapan. Kita memang memerlukan lebih banyak simpul budaya untuk ikut membangun Indonesia.
Politik terlalu penting jika hanya diserahkan kepada partai politik saja.
Tapi untuk Papua, saya memilih optimis. Karena itu mari kita bangunkan raksasa di sana yang masih tidur pulas.***
Agustus 2019
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/2318659898230146?sfns=mo