Indovoices.com- Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu industri yang diharapkan menjadi industri andalan ekspor Indonesia. Namun demikian, masih terdapat permasalahan pada industri hulu, industri antara (tengah), dan industri hilir. Kapasitas produksi dan investasi industri hulu meningkat namun daya serap industri antara (tengah) di dalam negeri kurang sehingga pasar untuk industri hulu TPT adalah pasar ekspor.
Ia menjelaskan, di industri antara (tengah), terjadi penurunan kapasitas produksi yang antara lain disebabkan oleh permasalahan lingkungan dan mesin produksi yang sudah tua. Hal ini berimbas kepada industri hilir yang kesulitan mendapat bahan baku asal dalam negeri akibat kurangnya pasokan, sementara utilisasi produksi industri hilir baru 56%. Hal ini menyebabkan tertekannya industri hilir dalam negeri disamping juga tidak adanya pembatasan untuk impor pakaian jadi.
“Kita akan terus mencari titik keseimbangan, di satu sisi tetap mendukung industri dalam negeri dan menjaga tata kelola dari para pelaku ekonomi, di sisi lain kita juga memahami bahwa tantangan dan tekanan yang berasal dari perdagangan internasional ini harus terus kita waspadai secara bertahap,” tutur Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers Upaya Penertiban Tekstil dan Produk Tekstil di Aula Cakti Buddhi Bakti kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jakarta.
Pemerintah telah mengeluarkan perintah kepada seluruh jajaran untuk melakukan pengawasan dan penindakan dalam rangka penertiban TPT dan PLB yaitu pertama, peningkatan kegiatan intelijen, kedua peningkatan kegiatan pemeriksaan lapangan, ketiga, penerapan risk management, dan keempat, peningkatan sinergi dalam investigasi/joint analysis antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Selain itu, berbagai penyempurnaan kebijakan terkait PLB juga akan dilakukan melalui revisi Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Pusat Logistik Berikat, dengan substansi perubahan sebagai berikut:
1. Dilakukan pemeriksaan fisik dan dokumen atas importasi melalui Pusat Logistik Berikat (PLB) berdasarkan Manajemen Risiko;
2. Penerapan Risk Engine Pemeriksaan Fisik;
3. Persyaratan Profil Risiko tertentu;
4. Kewajiban cek eksistensi;
5. Pemberian akses IT Inventory dan CCTV kepada DJP; dan
6. Penyampaian hasil audit kepabeanan kepada DJP.
Berbagai penyempurnaan kebijakan akan terus dilakukan dengan substansi usulan revisi Peraturan Menteri terkait, antara lain:
1. TPT Hulu dan Antara
a. Penggabungan komoditi kelompok A dan kelompok B menjadi satu kelompok dan persyaratan tata niaganya hanya berupa Persetujuan Impor (PI) dan kuota saja; dan
b. Penghapusan persyaratan laporan surveyor dan diusulkan diganti oleh pemeriksaan petugas bea cukai secara manajemen risiko.
2. TPT Hilir
a. Importasi TPT Hilir diperketat dengan persyaratan PI dan kuota sama seperti sektor hulu dan antara dengan tujuan kesetaraan atau harmonisasi tata niaga hulu – hilir;
b. Importasi TPT Hilir hanya boleh melalui pelabuhan tertentu saja;
c. Importasi TPT Hilir tidak memerlukan persyaratan LS dan diusulkan diganti oleh pemeriksaan petugas BC secara manajemen risiko; dan
d. Pengurangan batasan barang kiriman garment semula 10 pcs menjadi 5 pcs untuk mengurangi ekses penertiban impor borongan yang berpindah ke barang kiriman.
Menkeu berharap bahwa seluruh pelaku ekonomi apakah itu para importir, para produsen maupun para pengelola seperti pusat logistik berikat, kawasan ekonomi khusus semuanya memiliki tata kelola yang baik karena pada dasarnya Kemenkeu juga ingin mendukung kegiatan ekonomi dengan kepatuhan yang baik dengan efisiensi yang tinggi sehingga daya saing ekonomi Indonesia juga meningkat. (kemenkeu)