Tradisi Safar Dan Maknanya
Bulan Safar sudah berlalu, tetapi ada yang masih menganjal dalam pikiran saya.
Sebagai orang jawa pastinya kita mengetahui dengan istilah Safaran, di setiap daerah terkadang mempunyai tradisi Safaran yang berbeda, tergantung daerah masing-masing.
Safaran adalah suatu acara syukuran masyarakat Jawa, yang dilakukan pada bulan Safar, yakni nama bulan dalam kalender Jawa.
Cukup banyak yang harus diketahui tentang tradisi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat kita yang begitu konsisten mempertahankan budaya dan kepercayaan masing-masing yang diwariskan nenek moyang pada zaman dahulu.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa pada umumnya, sifat bulan Safar hampir sama dengan bulan sebelumnya yang merupakan kelanjutan dari bulan Suro (Muharram). Bulan ini diyakini sebagai bulan yang penuh bencana, Bala malapetaka dan kesialan.
Mayoritas masyarakat Jawa hingga saat ini masih mempercayai bahwa bulan ini dipenuhi dengan hal-hal yang bersifat ketidakberuntungan.
Masyarakat Jawa sendiri yang beraliran kejawen, menganggap hari Rabu Legi pada bulan Safar dianggap sebagai hari yang jelek sekali sehingga tidak boleh dibuat bepergian, hari Rabu Pahing yang dipercaya sebagai Dina Taliwangke yaitu hari yang sebaiknya disirik (dihindari).
Rebo Wekasan (istilah masyarakat Jawa Timur), Rebo Pungkasan (istilah Yogya dan Jawa Tengah), dan Rebo Kasan (istilah Sunda Banten) adalah sebutan untuk hari Rabu Minggu keempat pada bulan Safar.
Rebo (Rabu) merupakan hari ketiga dalam sepekan.
Sedangkan Wekasan istilah yang berasal dari akar kata wekas yang berarti “pesan” atau “Wanti-wanti”.
Kemudian istilah pungkasan berasal dari akar kata pungkas yang berarti “akhir”. Yang terakhir, kasan yakni kata yang berasal dari kedua istilah di atas dengan menghilangkan suku kata di depannya.
Ketika saya masih tinggal di Banyuwangi setiap bulan Safar, ada tradisi membuat jenang Safar.
Jenang sapar terbuat dari tepung ketan yang campur dengan air hangat dan garam, diolah menjadi sebuah adonan kemudian dibuat bola-bola kecil dan banyak.
Setelah itu masukan pada rebusan santan dan gula aduk sampai mendidih sampai bola bola itu muncul dipermukaan.
Untuk menambah aroma dikasih daun pandan dan dimasak sesuai selera.
Dan kreasi saya jenang Safar saya padukan dengan bubur ketan hitam dan bubur mutiara.
Sudah menjadi tradisi saya untuk mengantarkan jenang Safar ke kerabat dan tetangga saya.
Malamnya sehabis maghrib kami berkumpul di surau dengan membawa jenang safar, kemudian berdoa bersama memohon pada Allah SWT, kemudian menikmati bersama-sama, bahkan saling tukar jenang Safar .
Perlu kita ketahui jenang Safar merupakan kuliner hasil kebudayaan masyarakat Indonesia, yang mengakar sejak zaman Hindu dan era Wali Songo.
Hingga kini jenang Safar, hadir sebagai simbol ungkapan rasa syukur atas karunia hasil ciptaan Tuhan.
Teksturnya yang kenyal dan lengket dapat diartikan sebagai sarana yang mampu membangun hubungan kebersamaan antar sesama.
Walaupun terlihat sederhana, tetapi penuh sarat makna kehidupan. Sebagai simbol buntuk persatuan.
Tidak bisa kita pungkiri dengan adanya acara tradisi ini kita bisa berkumpul bersama dan berbagi.
Dalam masyarakat kebersamaan terus terjaga dengan baik.
Kita harus ambil inti sari dari semua ini, kesadaran bersama dan kerukunan akan tetap terjaga.
Semoga kedepannya kita bisa tetap melakukan saparan, pastinya tanpa meninggalkan makna yang terkandung.
Penulis: Kembang Jayanti