Kata KEDIRI bisa berbentuk KE DIRI dimana pemahaman menjadi “kembali ke diri sendiri.”
Suatu perjalanan mengolah kembali mata hati. Mata hati adalah mata yang terdapat di dalam hati.
Mata hati yang sehat adalah dimana seseorang bisa melihat keagungan Gusti Allah dan Alam Semesta.
Mengolah mata hati adalah upaya secara batin untuk bisa mendekatkan hati dengan esensi sang Mahapencipta.
Kata KEDIRI bisa juga ditulis seperti ini: KEDI RI.
Ada yang berpendapat bahwa nama KEDIRI berasal dari kata “KEDI” yang memiliki arti “MANDUL” atau “wanita yang tidak berdatang bulan.”
Menurut kamus Jawa Kuno Wasito, “KEDI” bermakna “orang kebiri bidan atau dukun.”
Ada juga yang menyatakan bahwa DewiKilisuci yang bertapa di Gua Selomangkleng itu “KEDI” yang miliki makna “SUCI.”
Dengan penuh kesadaran Dewi Kilisuci memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa.
Kesunyian GuaSelomangkleng (Kediri) dan Pucangan (gunung Penanggungan) lebih menarik perhatian sang Putri daripada memilih hiruk pikuk keduniawian sehingga menolak tawaran untuk menggantikan Prabu Airlangga menjadi ratu di Kahuripan.
Dalam bahasa Jawa Jumenengan, kata KEDIRI berasal dari kata “DIRI” yang berarti ADEG, ANGDHIRI, menghadiri atau menjadi RAJA.
Ada beberapa prasasti yang menyebutkan kata Kediri atau Kadiri.
Dalam Prasasti Ceker tahun 1109 saka / 1185 M berlokasi di Desa Ceker (sekarang adalah Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo), menyebutkan bahwa penduduk Ceker berjasa kepada Raja, sehingga mereka semua memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan” (tanah bebas pajak).
Disitu tertulis bahwa, “Sri Maharaja masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” yang memiliki arti “raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.”
Prasasti Ceker merupakan anugerah raja kepada penduduk desa Ceker yang telah mengabdikan dirinya guna kemajuan kerajaan dibawah Sri Kameswara.
Prasasti Kamulan di Desa Kamulan, Kabupaten Trenggalek pada tahun 1116 saka menyebutkan nama Kediri yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur, “Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo,” sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).
Prasasti Kamulan identik dengan prasasti-prasasti Srengga (Srengga Lancana) lain yang tersebar di wilayah wilayah selatan Sungai Brantas seperti Blitar, Kediri, Tulungagung dan Trenggalek.
Prasasti itu penanda anugerah raja Srengga untuk desa-desa yang diberi status sebagai tanah pardikan dan diberi hak mengelola pajak sendiri
Penyebutan nama Kadiri ada pada tiga prasasti Harinjing yang berada di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri yakni
Prasasti Harinjing A tertanggal 25 Maret 804 masehi
Prasasti Harinjing B tertanggal 19 September 921
Prasasti Harinjing C tanggal 7 Juni 1015 Masehi.
Isi dari ketiga prasasti Harinjing adalah tokoh dari desa Culanggi bernamakan Bagawanta Bhari yang memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong.
Kiprah Bagawanta Bhari ketika itu, yaitu upaya untuk menyelamatkan lingkungan dari amukan banjir tahunan yang mengancam daerahnya tersebut.
Dari uraian bukti prasasti serta kebesaran sejarah kerajaan Kediri makna kata Kediri berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau berswasembada.
Dalam perjalanan ke diri adalah jejak langkah mengasah mata hati.
Dalam ilmu Jawa dikatakan bahwa jiwa tunduk pada keraping rahsa/rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredam rahsaning karep (kemauan hawa nafsu negatif).
Segenap upaya yang mendukung proses ‘penundukan’ unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam khasanah Jawa disebut sebagai laku prihatin.
Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatin merupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan spiritualitas sejati. Kembali mengakar, kembali kesejatian diri.
Penulis: Permata Ayu