Indovoices.com – Salah satu tema dalam diskusi kelompok di Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2019 adalah belajar dari praktik baik pemerintah daerah dalam pemajuan kebudayaan. Tata kelola kebudayaan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, terpilih sebagai praktik baik dalam pemajuan kebudayaan. Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, hadir sebagai narasumber dan berbagi praktik baik dengan peserta diskusi di RNPK 2019.
Azwar Anas memaparkan, seni budaya menjadi kegiatan yang diminati generasi milenial. Berdasarkan hasil studi Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2017, terdapat perbedaan kegiatan yang menarik antara kaum milenial dan non milenial. Generasi milenial lebih tertarik dengan olahraga dan generasi non milenial lebih tertarik dengan kegiatan agama. “Seni budaya menjadi pintu masuk internalisasi pendidikan karakter generasi milenial,” ujar Anas dalam diskusi kelompok 4 di RNPK 2019 yang berlangsung di Pusdiklat Kemendikbud, Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Selasa (12/2/2019).
Kabupaten Banyuwangi menjadi salah satu daerah yang aktif melakukan tata kelola kebudayaan dengan baik. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mampu mengoptimalkan potensi dan kearifan lokal yang dimiliki daerahnya untuk mendukung kehidupan masyarakat di berbagai bidang, termasuk kebudayaan.
Anas menuturkan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menjadikan pengembangan budaya sebagai strategi konsolidasi. Ada tiga jenis konsolidasi kebudayaan yang diterapkan di Banyuwangi, yaitu konsolidasi birokrasi, konsolidasi masyarakat, penguatan ekonomi rakyat. Selain itu, ada kegiatan yang diberi nama Sambung Rasa dengan Budayawan, yang bertujuan untuk menghindari birokratisasi kebudayaan.
Setiap hari ada kegiatan budaya yang bisa dinikmati masyarakat hingga turis lokal maupun mancanegara. Beberapa desa pun menjadi destinasi wisata dengan “menjual” produk budayanya. Ada Desa Gintangan yang terkenal dengan kerajinan tangan dari bambu, atau Desa Wisata “Heritage” Temenggungan yang dikenal sebagai kampung wisata yang rutin menggelar pertunjukan seni Temenggungan Ethno Collaboration.
Kemudian ada banyak festival budaya yang digelar di Banyuwangi sepanjang tahun, antara lain Festival Angklung Caruk, Pertunjukan Kesenian Daerah dan Lawak, Jaranan Buto “Condro Dewi”, Banyuwangi Ethno Carnival, Festival Angklung Paglak, dan Kebo-Keboan Alas Malang. Tari Gandrung dari Banyuwangi bahkan terkenal hingga mancanegara, dan sudha ditampilkan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, Perancis, Hongkong, dan Jepang.
Direktur Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, pemilihan Kabupaten Banyuwang sebagai praktik baik tata kelola kebudayaan bukan tanpa alasan. “Bicara pemajuan kebudayaan sebenarnya sederhana cara mengukurnya. Ada empat aspek, yaitu pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Dua puluh tahun yang lalu, orang tidak tahu seperti apa Banyuwangi. Bahwa kemudian Bupati Banyuwangi dalam waktu tidak sampai 20 tahun bisa membalik itu, menurut kita ini ada yang istimewa,” tuturnya.
Menurut Hilmar, Bupati Banyuwangi menjadikan kebudayaan sebagai salah satu andalan untuk memajukan daerahnya. Ia membuat sebuah perhitungan tidak hanya dari segi finansial, tetapi juga waktu, pikiran, dan yang terpenting adalah orientasi. Bupati Banyuwangi menjadikan kebudayaan sebagai suatu komponen yang sangat penting dalam menentukan arah Banyuwangi. “Kebanyakan orang cari uang dengan cara cepat. Misalnya ada apa di tanah kita? Emas? Kelapa sawit? Tapi dia nggak. Dia justru melihat itu tidak ada di dalam tanah, melainkan di atas tanah, yaitu manusia. Itu yang istimewa. Bagi sebuah daerah yang tadinya tertutup, tiba-tiba sekarang jadi salah satu destinasi wisata terpenting di Indonesia, saya kira itu transformasi yang luar bisa,” ujar Hilmar.
Ia menuturkan, banyak isu penting terkait tata kelola kebudayaan dan pengelolaan kebudayaan yang bisa dipelajari dari Banyuwangi. Ia berharap perwakilan pemerintah daerah lain yang menjadi peserta RNPK 2019 bisa belajar praktik baik dari Banyuwangi. Namun ia mengimbau agar tidak menjadikan Banyuwangi sebagai sebuah model. Jangan sampai pemerin daerah lain terjebak dengan mengambil jalan yang sama dengan Pemrintah Kabupaten Banyuwangi. “Kita nggak main model, karena setiap daerah mempunyai kondisi yang beda-beda. Justru harus belajar melihat bagaimana sebuah daerah bergulat dengan problematiknya, mencari pemecahannya satu per satu, dan kemudian berhasil dengan capaian-capaian yang baik menurut ukurannya sendiri,” ujar Hilmar. (Desliana Maulipaksi)