Sungguh tidak terasa, segala perayaan, kesibukan soal Natal 2017 berakhir sudah. Perayaan Natal boleh saja berakhir, namun makna dari Natal bagi umat Kristen tentu tidak berakhir begitu saja.
Perayaan natal setiap tahun memang sudah seharusnya menjadi pengingat (bukan hanya ceremonial belaka) bagi setiap umat Kristen untuk memaknai kembali pengorbanan Tuhan Yesus yang rela melepaskan segala kehormatan, kekuasaan serta jabatan yang dimilikinya bersama Bapak di Sorga dan rela turun ke dunia yang fana demi menyelamatkan umat manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, yang sebenarnya tidak layak menerima pengorbanan Yesus tersebut, namun karena kasih-Nya Yang Maha Besar membuat kita yang percaya dan meyakininya menjadi layak untuk mendapatkannya. Setidaknya itu menurut iman dan keyakinan saya, kalau menurut anda bukan begitu, ya itu urusan anda.
Ok lah, kembali ke topik.
Kalau kita memperhatikan perayaan Natal di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini, sepertinya ada tradisi yang cuma ada di Indonesia, yang seharusnya tidak ada, yang terbentuk begitu saja dan yang selalu ikut meramaikan perayaan Natal di Indonesia setiap tahunnya, apa aja itu? Yukk.. mari kita lihat.
Pertama, yang tidak merayakan lebih ribet dari yang merayakan.
Kalau kita melihat negara lain, memang ada pihak lain selain Kristen yang turut meramaikan perayaan Natal, namun kesibukan mereka tidak melebihi umat Kristen. Mereka hanya mengikuti yang sudah ada atau disiapkan oleh umat Kristen seperti menggunakan atribut-atribut yang sudah tersedia, tidak lebih.
Berbeda dengan itu, entah memang terlalu santai atau bagaimana, setiap tahun perayaan Natal di Indonesia juga selalu ada aja pihak yang tampak lebih sibuk dibanding orang Kristen yang turut meramaikan natal dengan mengeluarkan atribut-atribut di luar atribut yang sudah tersedia seperti mengeluarkan ayat agamanya, aturan agamanya atau spanduk berupa larangan mengucapkan “Selamat Natal”. Bahkan, sampai ada umat lain yang mencari waktu sebenarnya Yesus lahir menurut kitab suci mereka yang menuliskan lahir di musim panas bukan musim dingin desember.
Saya yang sebagai orang kristen, meskipun tahu Yesus memang bukan lahir di musim dingin (Desember), yang setiap tahun harus sibuk menyiapkan natal di gereja, tidak pernah sekalipun kepikiran ingin cari tahu tanggal sebenarnya Yesus lahir. Saya pikir teman-teman kristen lain juga demikian (karena memang makna natal tidak hanya di soal hari kelahiran Yesus, ada makna yang lebih dari itu), tapi ternyata ada umat lain yang punya hasrat untuk mencari tahu itu, RUUAAARRR BIASA KAN?
Yang buat ini menjadi unik adalah sebenarnya Umat Kristen sendiri memang tidak pernah memaksa atau mengharuskan umat lain mengucapkan “Selamat Natal” kepada mereka, bagi umat Kristen makna natal yang sebenarnya bukan terdapat pada ucapan itu tapi di tatacara memaknai natal itu sendiri. Jadi, bagi umat Kristen sendiri diucapin atau tidak ya tidak mengurangi makna natal yang sebenarnya.
Meskipun ada beberapa orang termasuk seorang mantan penganut Katolik yang kebanyakan makan kwetiau basi yang mengatakan (baca: memprovokasi) bahwa umat kristen mengharuskan mereka mengucapkan “Selamat Natal” yang saya pikir itu masih sangat sangat bisa kita perdebatkan dan bertanya data dari mana atau informasi dari mana?
Apakah mereka pernah melihat orang kristen yang memaksa umat lain untuk mengucapkan “Selamat Natal” di kantor atau di jalan?
Atau apakah mereka pernah melihat orang Kristen yang berteriak “Oee, LOE HARUS UCAPIN SELAMAT NATAL KE GUE. KALAU GA, LOE GUE END” kepada rekan atau temannya?
APAKAH PERNAH? Mungkin mantan Katolik itu pernah begituin temannya saat dia masih katolik makanya tahu.
Kedua, salah kaprah soal atribut natal
Kadang saya berpikir kenapa negara luar yang non-kristen seperti Arab Saudi ataupun Taiwan, mereka bisa dengan leluasa menggunakan hiasan natal, Mereka bahkan bisa memakai baju Santa Claus? Apakah iman mereka dangkal?
Saya yakin tidak demikian, bagi orang luar pasti tahu betul atribut-atribut natal seperti Santa Claus, topi, pohon natal. dll hanyalah sebagai pelengkap yang meramaikan natal karena pas menjelang liburan musim dingin atau akhir tahun, namun bukan bagian dari makna natal yang sesungguhnya.
Sebagai umat Kristen pasti tau bahwa Natal yang sesungguhnya tidak ada kaitan dengan atribut-atribut itu. SAMA SEKALI TIDAK ADA. Keberadaan atribut-atribut itu bahkan lebih bersifat komersial dibanding menjadi bagian dari makna natal yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, kebanyakan orang luar yang non-kristen tidak segan-segan menggunakan atribut itu sebagai penambah kemeriahan liburan akhir tahun.
Berbeda dengan itu, di Indonesia itu selalu menjadi perdebatan di setiap perayaan natal, seperti sudah menjadi tradisi di setiap tahunnya. Di Indonesia, atribut itu dianggap mampu mengoyahkan iman seseorang, bahkan sampai ada yang men-sweeping pusat-pusat pembelanjaan hanya untuk melihat apakah ada kios-kios yang menyuruh bawahannya memakai atribut natal.
Padahal, kadang pemilik kiosnya aja bukan Kristen. Atribut natal hanya sebagai alat untuk mendongkrak penghasilan di liburan akhir tahun yang sering dimanfaatkan orang-orang untuk mengunjungi pusat pembelanjaan alias hanya sekedar komersial saja. Apakah makna natal hanya untuk mendongkrak penghasilan kios? JELAS-JELAS TIDAK.
Ketiga, menutup rejeki orang.
Seperti yang sudah saya katakan di poin kedua, atribut natal pada dasarnya lebih bersifat komersial dibanding sebagai hal-hal yang bersifat rohani Kristen.
Kalau di luar negeri, atribut-atribut itu benar-benar menjadi pendongkrak penghasilan atau jumlah pengunjung di liburan akhir tahun, semakin bagus hiasan natalnya maka akan semakin banyak yang tertarik untuk mengunjungi.
Dengan demikian, pemilik kios dalam pusat pembelanjaan juga bisa mendongkrak penghasilan mereka.
Tentu tidak hanya pemilik mall, pemilik kios yang diuntungkan, tapi juga ada produsen, distributor, agen, bahkan para pengecer yang menjual atribut natal tersebut yang diuntungkan, rejeki akhir tahun lah istilahnya.
Di Indonesia, berbeda dengan itu, rejeki akhir tahun musiman itu kian dipersulit oleh segelintir orang. Padahal yang diuntungkan atau memanfaatkan kesempatan natal untuk merauk rejeki itu tidak hanya dari kalangan Kristen atau orang-orang kaya saja, tapi kebanyakan juga dari kalangan orang kecil dan non-kristen yang memanfaatkan momen natal untuk mendapat pendapatan tambahan.
Ok lah, itu 3 tradisi natal yang hanya ada di Indonesia, tidak ada di negara lain.
Dengan sudut pandang yang berbeda, tradisi seperti ini sebenarnya ada bagusnya.
Bayangi saja, kalau dulu kemana-mana kita bisa mendapat ucapan natal, kita bisa melihat hiasan natal di Mall serta jalanan yang membuat kita lebih memaknai natal sebagai waktu untuk jalan-jalan menikmati hiasan itu. Namun sekarang, dengan berkurangnya atribut dan ucapan natal jelas membuat kita lebih bisa menghayati makna natal yang sebenarnya yang mampu mengerus iman orang walau hanya sekedar ucapan atau kata “SELAMAT NATAL”.
Dan yang pasti lebih irit.
So, tanpa mengurangi rasa hormat, saya secara pribadi ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka-mereka yang telah menyibukan diri di setiap perayaan Natal. Jujur saja, tanpa mereka makna natal jadi kurang kerasa. INI JUJUR DARI HATI SAYA YANG TERDALAM, keberadaan mereka membuat saya semakin bisa menghayati makna natal yang sesungguhnya.
Ok lah Sekian..
Hans Steve