Indovoices.com – Mobil kotor berlumpur berhenti di sebuah toko kecil di suatu desa. Seseorang turun mengenakan topi pet di kepala. Diikuti seorang di belakangnya. Dua orang lainnya tinggal di mobil. Pria yang berperawakan lebih kurang 1, 80 meter itu membawa tas selempang kecil. Hidung dan mulutnya tertutup masker. Sedikit di bawah topi, bertengger kacamata minus. Ia merogoh saku, mengeluarkan dompet. Sebelah tangannya memilah-milih beberapa jenis biskuit. Mungkin mencari makanan ringan favorit yang biasa dibelinya. Agak berjarak, temannya yang berpostur ala olahragawan atau mirip polisi itu berdiri mengawasi. Tangannya membetulkan posisi pulpen besar di saku kemejanya.
“Berapa semuanya, Bu?” Tanya pria berkacamata dengan suara serak-serak basah.
Ibu penjaga toko yang sambil menonton berita di televisi itu sedikit terkejut. Suara serak-serak basah itu membuatnya mengingat-ingat. Pola suara itu pernah ia dengar sebelumnya. Tapi di mana? Ia mengambil kalkulator. Beberapa kali menekan tombol angka. Kemudian menyebut harga totalnya. Lirikannya berusaha mengenali orang baru yang singgah di tempat usahanya. Tapi tak berjaya.
Seperti akan beranjak pergi, pria yang mengenakan masker itu berbalik lagi. “Oh iya! Gas melon dijual berapa, Bu?” Tanya pria bersuara serak. Matanya mengarah kepada susunan belasan tabung gas tiga kilogram berwarna hijau yang bertuliskan: untuk masyarakat miskin. Ibu yang masih penasaran dengan suara sosok pria di depannya menyebut nominal harganya.
“Dapat dari pangkalan mana, Bu?” Tanya Si Serak Basah lagi. Ibu itu menjawab, bahwa toko kecilnya tidak mendapat langsung dari agen pangkalan. Tapi ada beberapa orang berbeda yang sering mengantarnya.
“Apakah harga selalu mahal begini, Bu?” Si Serak bertanya lagi seperti polisi mengintrogasi.
“Pernah juga murah. Tapi selalu sedikit di atas HET yang ditetapkan Pemda. Namun sangat jarang terjadi” Jawab si ibu. “Masyarakat di sini sudah terbiasa, Pak! Walaupun mengomel juga. Prinsipnya, yang penting barang itu ada” Tambahnya lagi. Pria berkulit putih yang berbadan bungkuk itu mengangguk-angguk.
Siapakah pria bersuara serak, berperawakan tinggi 1,80 meter, berbadan bungkuk, berkulit putih, bertopi pet, memakai masker, berkacamata minus, yang baru mengangguk-angguk itu?
Dia adalah Ahok, Basuki Tjahaja Purnama dalam imajinasi penulis. Ia adalah Sang Komisaris Utama PT Pertamina baru, yang menjadi harapan kita. Yaitu; masyarakat yang merasa terzalimi dengan subsidi imitasi saat ini. Kenapa imitasi? Karena subsidi hanya menjadi sebuah istilah saja. Sedang harga sering lebih tinggi dari HET ketetapan resmi Pemda. Untuk itu, dalam membeli gas yang bertuliskan ‘untuk orang miskin’, si miskin terpaksa menyamakan hak dan kewajibannya dengan orang kaya. Itulah realita yang terjadi di daerah kami di desa.
Kewenangan Komisaris Utama adalah mengepalai Dewan Komisaris yang memantau dan mengawasi kebijakan direksi perusahaan pada level tertinggi negara. Ahok memang tak harus turun langsung ke lapangan. Ada banyak bawahannya yang bisa ditugaskan. Apalagi harus menelusuri sampai ke desa-desa. Karena ada tugas besar yang menjadi porsinya. Sedangkan sebuah desa di Indonesia Raya hanya setara dengan sehelai rambut di kepala. Tentu yang berambut sempurna.
Namun demi memuaskan harapan banyak orang, ia serius membenahi carut-marut energi di negeri ini dengan melakukan penelusuran rahasia sampai ke tingkat desa untuk menghimpun data. Dimana kejadian gas langka dan SPBU atau APMS bertuliskan kata ‘HABIS’, sudah jadi pemandangan biasa. Sementara masyarakat sudah mulai bisa berdamai dengan harga minyak dan gas yang sering dijual di atas ketentuan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemda. Harga gas melon yang hampir berlipat dua sudah biasa. Bahkan pernah di atasnya. Sehingga manfaat subsidi hanya mengurangi pendapatan negara dan hampir tak ada efeknya terhadap rakyat jelata. Malahan meningkatkan taraf kehidupan para spekulan bermodal yang memang sudah lama berstatus sebagai orang kaya.
Begitupun bila di SPBU atau APMS tertulis kata: ‘Habis’, di seberang jalan atau beberapa meter darinya, BBM jenis pertalite dan bensin selalu tersedia. Pengendara tinggal putar haluan. Soal harga insyaallah selalu kemahalan. Karena kios kecil sebagai sayap penyedia BBM sangat konsekuen mempraktekkan hukum supply demand-nya Adam Smith yang telah dimodifikasi. Yaitu, hukum permintaan dan penawaran dengan penawaran disendat-sendat seolah terjadi kelangkaan.
Pada level desa, kalau memang benar ada mafia gas, tentu dianggap kecil. Katagorinya mafia receh. Tak patut seorang komisaris utama harus turun menyamar sebagai orang biasa tak punya kuasa. Tapi mafia kecil itu merata se-Indonesia. Korban pun hampir seluruh rakyat miskinnya. Artinya, yang kecil dan remeh-temeh itu sebenarnya besar juga.
Penulis berharap Ahok langsung melihat fakta dengan merekam kejadian di lapangan. Walaupun hanya dengan sebatang pulpen berkamera pengawalnya. Sehingga bila berbicara ia punya data yang dijadikan alasan untuk menegur direksi yang diawasinya
Kenapa dalam imajinasi ini harus seorang Ahok? Karena telah banyak bukti kalau ia berani menggebrak, bersungguh-sungguh dalam pekerjaan dan menguasai permasalahan. Yang terpenting dari semua itu adalah niat baik. Dan itu ada pada Ahok.
Bersinarlah Basuki Tjahaja Purnama! Nanti kami kasih bunga!
*)Penulis: Taufikson Abakian Julakian