“Cobalah pembaca renungkan sebentar “padang pasir” dan “Wahabisme” itu.
Kita mengetahui jasa Wahabisme yang terbesar :
Ia punya kemurnian,
Ia punya keaslian,
Murni dan asli sebagai udara padang pasir.
“Kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi,
Kembali kepada Islam sebagai di zamannya Muhammad!”
Kembali kepada kemurnian,
Tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu satu tahayul dan seribu satu bid’ah.
Lemparkanlah jauh-jauh tahayul dan bid’ah itu,
Nyahkanlah segala barang sesuatu yang membawa kepada kemusyrikan!
Murni dan asli sebagai hawa padang pasir,
Begitulah Islam mesti terjadi.
Dan bukan murni dan asli saja!!
Udara padang pasir juga angker,
Juga kering,
Juga tak kenal ampun,
Juga membakar,
Juga tak kenal puisi.
Tidakkah Wahabisme begitu juga?
Iapun angker,
Tak mau mengetahui kompromi dan rekonsiliasi.
Iapun tak kenal ampun,
Leher manusia ia tebang kalau leher itu memikul kepala yang otaknya penuh dengan pikiran bid’ah dan kemusyrikan dan kemaksiatan.”
_______________________________
“Kalau kita berdiri di dalam hutan,
Maka kita tidak melihat hutan itu.
Yang kita lihat hanyalah pohon-pohon saja.
Tiada ubahnya dengan peninjauan dari udara kepada macam-macamnya agama.
Dari atas udara yang tinggi itu.
Dari atas udara yang tinggi itu – udara rohaniah – maka kita melihat corak umum agama di masing-masing negeri yang kita tinjau.
Kita tidak melihat detail lagi,
Kita hanya melihat perbedaan-perbedaan yang pokok,
Perbedaan-perbedaan yang fundamentil.
Sudah kita katakan lebih dulu :
Siapa yang membenamkan diri di Mesir,
Dia hanyalah melihat Mesirisme saja.
Siapa yang membenamkan diri di Turki,
Dia hanya melihat Turkiisme saja.
Dia lantas terbenam di dalam detail,
Dan dia lantas “menggenuki” detail itu,
Zonder merealisirkan,
Bahwa di luar ia punya dunia-ideologi itu adalah ideologi-ideologi lain,
Faham-faham lain,
Pengertian-pengertian lain.
Dia terikat pada isme di negerinya,
Terikat oleh tradisi pikiran di negerinya atau di negeri tempatnya sekolah.
Dia terikat secara rohaniah,
Dia tidak merdeka rokh nya,
Tidak merdeka akalnya,
Tidak merdeka pengetahuannya.
Dia secara rohaniah,
Adalah budak,
Dan bukan Tuan! …”
(“Me “muda” kan Pengertian Islam – Panji Islam 1940. Oleh Ir. Soekarno. Salah satu isi buku ISLAM SONTOLOYO – Pikiran-Pikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran Islam oleh Ir. Soekarno)
__________________________________
“Bapak membenci Wahabi?? …”
“Aku belajar tentang Wahabi,
Tapi aku merasa itu tidak cocok untuk diterapkan di negeri ini ….”
“Karena jahat, Pak?? …”
“Kowe kuwi,
Langsung tarik kesimpulan yo senengane …..,”
Jawab Bapak sambil tertawa ….
“Wahabi itu mungkin cocok diterapkan di negeri Timur Tengah sana,
Mungkin lo yaaaa ….
Tapi tidak untuk di Indonesia …..
Karena di Indonesia,
Kita ini lebih flexible …
Lebih bisa menerima perbedaan …
Ya karena kita ini negara kepulauan,
Banyak suku,
Banyak budaya,
Banyak adat istiadat yang sudah ada turun temurun,
Dari jaman nenek moyang kita.
Mereka menjalankan adat itu,
Bukan berarti musryik …
Mereka tetap memuja keberadaan Tuhan,
Hanya dengan cara yang berbeda.
Dan kita wajib menghormatinya ….
Kalau menurut Wahabi,
Siapapun yang tidak menjalankan sesuai dengan hukum Islam,
Yang mereka pahami,
Ya dianggap musryik …
Ya bubar, Nduk ….
Bisa-bisa yang ada perang sodara di mana-mana …”
“Makanya,
Bapak melarang paham itu tumbuh dan berkembang di negeri ini? ….”
Bapak tersenyum ……
“Kowe tau kan isi Piagam Jakarta?? ….”
“Ya tau to, Pak ….”
“Wis mbok bandingkan dengan Pancasila??? ….”
“Sampun, Pak ….”
“Kenapa bukan Piagam jakarta yang disahkan menjadi Dasar Negara?? .
Kenapa harus dirubah menjadi Pancasila??? ….
Karena Indonesia bukan hanya milik orang Islam saja,
Tapi juga milik Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
Dan aliran-aliran kepercayaan,
Yang semua mengacu kepada Dzat yang Maha Esa …”
“Aku menghormati pemeluk agama lain,
Aku mengakui keberadaan mereka yang ikut berjuang bersamaku …
Dalam perjuangan,
Tidak pernah ada perbedaan,
Apalagi tentang agama …
Mosok setelah merdeka,
Malah kita mau meng kotak-kotak kan mereka?? ….”
“Jadi??? …”
“Jadi opo??? ….
Ya intinya tetap dasar negara itu yo Pancasila,
Falsafah negara,
Pedoman hidup rakyat Indonesia …
Wis, titik …
Ora nganggo koma maneh ……
Sing gak gelem tunduk karo Pancasila,
Yo siap-siap mati dewe mengko …”
“Pancasila kuwi rak sakti to, Pak?? …”
“Iyo,
Saking sakti ne iso gawe kowe tak jiwit, Nduk ….
Bocah koq bawel banget yo …..”
canda bapak sambil mencubit pelan lengan saya ….
Saya tertawa,
Bapak pun tertawa …..
Dan di langit,
Terlihat samar merah putih berhiaskan burung Garuda ……..
(Dedicated for “Bapak” Ir. Soekarno – Founder Father of Indonesia)
Al Fatihah ….