Indonesia adalah negara ketiga di Asia Tenggara setelah Filipina dan Malaysia yang berani mengirimkan kembali sampah yang dikirim oleh negara asing, dalam hal ini sampah Indonesia dari Kanada melalui Amerika Serikat.
Permasalahan ini bermula dari upaya pemerintah China yang memutuskan untuk berhenti menerima sampah plastik tahun 2018 lalu. Setelah sebelumnya selama bertahun-tahun menerima sebagian besar plastik bekas dari seluruh dunia.
Sejak saat itu, sejumlah besar limbah telah dialihkan ke Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Indonesia, dan Filipina.
Bulan lalu, Malaysia telah memutuskan untuk mengirim kembali ratusan ton sampah plastik ke negara asalnya mengikuti langkah Filipina yang mengirim kembali berton-ton limbah yang dibuang di negara itu dari Kanada. Upaya Filipina sempat memicu pertikaian diplomatik dengan Kanada.
Dan kini Indonesia memutuskan melakukan langkah serupa dengan mengekspor kembali lima kontainer sampah asal Kanada karena tidak sesuai Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Langkah Indonesia mengekspor kembali sampah plastik ke negara asal sampah tersebut bukanlah pertama kalinya. Di tahun 2016 Indonesia pernah memulangkan 40 kontainer limbah serupa.
Sebenarnya tanpa sampah impor tersebut pun, Indonesia sudah kaya dengan limbah plastik. Tahun 2015, Jambeck Research Group mencatat Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik di laut kedua di dunia, setelah Tiongkok.
Limbah plastik yang tidak terkelola (mismanaged plastic waste) di Indonesia berjumlah 3,22 juta ton per tahun, di bawah Tiongkok sebesar 8,82 juta ton sampah plastik per tahun. Pada tahun 2025, sampah plastik tak terkelola di Indonesia diprediksi bisa mencapai 7,4 juta ton per tahun.
Untuk mengantisipasi atau langkah pencegahan limbah impor masuk tak sesuai aturan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanaan (KLHK) sedang mengusulkan revisi Permendag Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016 soal klasifikasi HS code (kode perdagangan komoditas) yang mencantumkan kata ‘dan lain-lain’. Karena kata “dan lain-lain” ini yang sering menjadi celah masuk sampah impor yang tak jarang telah terkontaminasi limbah B3 yang beracun dan berbahaya bercampur cacahan plastik bekas.
Bila masalah limbah plastik impor dapat diatasi dengan revisi Permendag, lantas bagaimana dengan “sampah” dari ISIS yang tidak kalah beracun dan berbahaya?
Sampah yang dimaksud adalah orang-orang IBI (Isis Born Indonesian) artinya warganegara ISIS keturunan Indonesia atau WNI yang telah menukar kewarganegaraannya menjadi warga negara ISIS.
Seperti yang kita ketahui, salah satu syarat utama seorang WNI kehilangan kewarganegaraannya adalah bersumpah setia kepada negara lain, dalam hal ini bersumpah setia kepada ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah).
Diperkirakan tidak kurang dari 700 orang Indonesia yang tertipu oleh “surga dunia” yang dijanjikan Islamic State-ISIS.
Dengan kesadaran sendiri, mereka pergi meninggalkan Indonesia dengan sembunyi-sembunyi melalui jalur tidak resmi. Mereka tidak bisa pulang ke Indonesia karena sudah tidak mempunyai dokumen perjalan resmi. Paspor mereka sudah dirobek-robek dan dibakar oleh mereka sendiri dengan penuh kesadaran dan rasa percaya diri tidak akan lagi kembali ke NKRI yang dianggap sebagai negara toghut dan kafir.
Mereka mulai sadar setelah masuk “kalifat Islam” ala ISIS, bahwa di Suriah atau Irak, yang ada hanyalah “neraka”.
Harapan muluk kaum lelaki, mendapat kerja, dibayarkan utang dan mendapat beragam fasilitas kehidupan gratis berubah jadi mimpi buruk. Kaum pria yang tidak bersedia bertempur, langsung dipenjarakan atau disiksa. Sementara kaum wanitanya dipaksa untuk menjadi pengantin jihadis.
Kini, setelah ISIS mengalami kekalahan dan kehancuran. Dengan mudahnya “sampah-sampah” yang awalnya mengekspor dirinya dengan sukarela tersebut meminta pemerintah Indonesia yang sudah dicampakkannya untuk mengimpor mereka kembali dengan uang rakyat.
Kita tidak pernah tahu apakah penyesalan mereka saat ini adalah dari lubuk hati yang terdalam atau mereka justru membawa misi untuk menebar faham dan kebencian kepada NKRI dengan menebarkan virus ISIS di Indonesia?
Bila limbah plastik beracun masih dapat kita identifikasi dengan mudah, maka tidak demikian halnya dengan “sampah” ISIS ini. Mereka berani bersumpah, memelas, menangis hingga merengek, namun tidak ada yang bisa menjamin kalau itu bukan bagian dari strategi mereka agar dapat diterima kembali oleh negara asalnya masing-masing.
Apalagi kehancuran ISIS di Timur Tengah memaksa para pasukannya yang berhasil melarikan diri untuk kembali ke negara masing-masing. Ditambah dengan tren serangan teror yang meningkat belakangan ini, gelombang ‘mudik’ teroris itu bisa jadi memperkuat jaringan teroris yang sudah ada sebelumnya di negara asal. Belum lagi, pengalaman perang yang dibawa oleh para militan itu bisa membuat alat-alat teror semakin canggih.
Jelas sudah re-impor “sampah” dari ISIS bukanlah keputusan yang bijak, jadi saya menolak dengan keras re-impor sampah ISIS.
Dalam beberapa kesempatan Jokowi menegaskan bila dirinya sudah tidak ada beban politik lagi dalam lima tahun mendatang. Apakah itu termasuk ketegasannya untuk tidak menerima kembali “sampah” ISIS dan membasmi radikalisme di dalam negeri hingga tuntas? Saya berharap demikian, bagaimana dengan Anda?