Perjalanan kami malam itu sebenarnya terhitung jarak sedang. Dari Karawang menuju Jakarta hanya 60 km via jalan Tol yang terkenal paling padat se Indonesia. Kami ber 6 dalam satu mobil. 2 kawan di jok belakang, aku di jok tengah dan beliau di depan samping sopir. Beliau yang kusebut ber-perawakan tambun layaknya pria setengah baya pada umumnya. Seorang Pejabat Eselon di sebuah Kementrian. Gaya bicaranya lugas, taktis pertanda kenyang pengalaman.
“Negara kita ini sedang dalam masa transisi yang sebenarnya setelah dipegang oleh Jokowi” katanya tiba tiba di sela kejenuhan kami menikmati padat merayapnya jalan yang katanya bebas hambatan. Ini dia nih, ada topik menarik, fikirku.
“Lha kan transisinya sudah kemarin saat reformasi pak?” tanyaku memancing diskusi.
“Reformasi itu cuma pergantian giliran penguasa. Tidak ada perubahan dalam mengelola negara” jawabnya dingin.
“Mengatur ratusan juta kepala di negara kita memang bukan pekerjaan mudah pak” tanyaku lagi.
“Setidaknya Jokowi sudah berusaha memangkas akar sistem yang memungkinkan orang korupsi. Kalau koruptornya ditangkepin tapi sistemnya tidak dirubah, ya sama juga bohong” jelasnya serius tanpa beringsut dari posisi dan pandangan ke arah padatnya jalanan.
“Iya betul Pak. Jokowi faham akar permasalahan negara ini yang harus diprioritaskan. Untung saja Jokowi yang menang. Kalau Prabowo beda lagi ceritanya”
“Jokowi itu simbol perlawanan rakyat pada konsep bernegara. Coba mas renungkan, kita sudah punya Presiden siapa saja? Ahli orator sudah. Ahli strategi pernah, teknokrat jenius sempat. Bahkah Kyai setengah Wali juga sudah. Presiden Perempuan pernah juga dan Jendral pakar politik juga pernah. Yang belum cuma Presiden dari rakyat biasa. Tuhan itu Maha Adil, sudah dikasih pemimpin macem macem karakter tetap saja rakyat masih ndak maju maju. Makanya Tuhan kasih azab, Presidennya dari rakyat biasa saja lah. Lugu, ndeso, plongak plongok tapi dialah yang paling komitmen diantara Presiden sebelumnya”
jelasnya berapi api ditambah ekspresi kedua tangannya menegaskan kalimat kalimatnya.
Empat orang penumpang lain aku lihat senyum senyum entah apa yang difikirkan.
“Ada campur tangan Tuhan dalam terpilihnya Jokowi kemarin. Dan itu berlanjut pada kebijakan dan keputusan beliau dalam situasi sesulit apapun seperti sekarang ini” timpalku ikut bersemangat.
“Betul. Terpilihnya Jokowi membuat kalangan elit negeri ini kontraksi. — Siapa Jokowi kok bisa jadi Presiden? Jokowi itu dulu bawahan saya, kacung. Kok kurang ajar banget sekarang ngatur ngatur saya– Itu yang ada dalam fikiran sebagian petinggi negeri ini yang masih belum percaya logika Tuhan” pria itu makin membara bicaranya. Aku lihat sesekali dia mengusap bibinya karena beberapa kali air liunya muncrat.
“Jokowi itu sebenarnya dikelilingi banyak musuh. Dari Partainya sendiri, penasihat bahkan beberapa menteri pembantunya” lanjutku makin serius.
“Ya begitulah kenyataannya. Pendukung dia sesungguhnya adalah kita. Rakyat rakyat biasa yang senantiasa respek dengan kerja kerasnya. Makanya musuh berupaya menjauhkan Jokowi dari rakyatnya. Pakai issue Agama, Utang Luar negeri, penggerogotan uang negara dengan mengkorupnya”
“Termasuk issue PKI itu ya pak?” tukasku memotong bicaranya.
“Itu senjata terakhir mereka yang paling canggih. Harapannya rakyat kemudian membencinya. 40 tahun saya menjadi PNS sebentar lagi pensiun baru kali ini merasakan situasi yang se ironis ini.
Saya salah satu pendukung masa transisi ini. Itu saya sampaikan di setiap forum. Banyak orang sekantor saya yang tidak suka, tapi saya tidak peduli karena merekapun tidak pernah bisa menang debat sama saya untuk urusan integritas” kalimat beliau semakin dalam. Sebagai pejabat Eselon di Kementrian Pusat dia faham kebijakan ke atas dan realita di bawah.
“Saya sering bilang ke mereka, harusnya karir saya bisa meroket karena pilihan saya berkuasa. Bukan kalian yang kemarin pilih Prabowo tapi karir jabatan melebihi saya. Dari situ saya bisa mengukur integritas kalian sebesar apa. Bagaimana bisa loyal kalau orang yang di anut bukan pilihan hatinya. Dan itu berdampak pada pola kerja. Malas kreatif, makan gaji buta sambil sesekali korupsi kecil kecilan.
Bagi saya jabatan tidak penting. Tapi bagaimana peningkatkan melayani rakyat yang menggaji kita dari uang pajak itu lebih penting” lanjutnya tanpa koma. Aku seperti tertimbun kucuran kegelisahannya.
Mendengarkan sudut pandang seorang pelaksana kebijakan pemerintah berstandard idealis.
“Dulu waktu saya masih sering kunjungan ke daerah, sepulangnya dari tugas sering nangis sendiri. Di Papua, Sulawesi, Kalimantan, pelosok Sumatra. Penduduknya pada bingung bertanya tentang Pembangunan itu seperti apa. Tahun 2008 saya ingat dapat tugas ke Sorong untuk sosialisasi program kebersihan. Orang sana nyaris tidak pernah mandi. Jarak 30 meter dia jalan bau badannya tercium. Saya memberi penyuluhan pentingnya mandi dengan sabun. Itu benda sabun yang saya bawa dari Jakarta mereka nikmati karena baunya harum, sebagian ada yang menggigitnya difikirnya itu makanan. Dalam pesawat pulang saya bertanya dalam hati, Presidennya sebelumnya ngapain saja. Sibuk bangun Pulau Jawa saja dengan mengeruk kekayaan alam dari luar Jawa lalu masyarakatnya dibiarkan hidup di jaman batu” cerita beliau dengan wajah sedih dan prihatin.
“Ini sudah akhir tahun, saya tanya ke kasubdit lain laporan implementasi programnya seperti apa. Hampir sebagian besar nol, mereka tidak melakukan apa apa alias tidak kratif. Padahal alokasi dana ada. Saya melihat Indonesia dari sudut Kementrian saya gampang saja kok. Kementrian saya 3 kali berturut turut mendapat predikat terbaik. Yang terbaik saja kondisinya seperti ini, bagaimana dengan yang lain” penjelasan beliau semakin membuatku berkerut jidat sambil nyengir.
“Kalau orang bilang Jokowi itu sudah selesai dengan dirinya sendiri itu benar. Saya sedang belajar kesitu dan tidak mudah ternyata” ucapnya kemudian. Aku mengangguk setuju.
Seseorang yang baru hitungan minggu aku kenal tapi serasa berkawan berdiskusi ribuan minggu. Seorang abdi negara yang selayaknya begitu. Baru segelintir yang kutemui, namun aku yakin banyak orang orang seperti beliau di dalam sana. Di belakang meja namun fikiran menyebar ke trotoar ke pelosok rumah kumuh, desa kekeringan dan aneka pergulatan manusia memperbaiki peradaban hidupnya.
Semoga paham