Kasus terbongkarnya permintaan Mahar oleh Gerindra kepada La Nyalla menunjukkan bahwa proses berdemokrasi di negara kita masih belum berjalan dengan semestinya. Pemberian Mahar semacam itu sudah menjadi rahasia umum yang mungkin saja terjadi di semua partai dengan jumlah miliaran rupiah hingga ratusan miliar.
Jadi tak heran ketika seorang calon pimpinan daerah setelah berhasil menang dan menjabat, banyak yang tertangkap KPK karena melakukan tindakan korupsi untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan semasa pencalonan dan kampanye dulu. Itupun kalau menang, jangan cerita lagi soal yang kalah, mulai dari bangkrut, bunuh diri sampai jadi gila pun ada.
Bagaimana tidak menjadi gila bila ternyata yang dipertaruhkan adalah seluruh kekayaannya, bahkan kalau perlu hutang sana sini untuk mendapatkan pinjaman.
Sedangkan bagi yang menang pun belum tentu bebas dari hutang, mulai dari hutang kepada keluarga, teman sampai ke para pengusaha, hutang uang sekaligus hutang budi. Setelah berhasil menang, tagihan pun mulai berdatangan.
Harus diingat, tidak ada makan siang yang gratis. Dari partai tentu minta balas jasa karena telah menyalonkan dan mendukung, sedangkan dari pengusaha yang meminjamkan uangnya, tentu meminta balas jasa agar “dipermudah” usahanya. Belum lagi dari teman dan family yang menagih, dan munculah apa yang disebut dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Dan itulah yang terjadi selama ini. Jadi bagaimana si pemimpin punya waktu untuk memikirkan kesejahteraan warga yang dipimpinnya lagi, kalau yang ada di pikirannya adalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin dan balas budi kepada pendukungnya?.
Percayalah, selama sistem tidak diubah, maka praktek KKN dan yang ditangkap KPK tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun.
Bagaimana melepaskan diri dari lingkaran setan seperti itu?
Sampai saat ini, dari sisi personal, hanya ada 1 orang yang mampu memutus mata rantai tersebut. Namanya Basuki Tjahaya Purnama. Kita tentu ingat bagaimana ketika kampanye kemarin, beliau melakukan pengumpulan dana melalui kegiatan festival, makan bersama, donasi, kampanye rakyat, sukarelawan, dan temu kandidat.
Walaupun sebenarnya kegiatan penggalangan dana seperti itu telah ada sejak 2012 ketika Jokowi-Ahok mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, melalui penjualan baju kotak-kotak, namun keterlibatan partai masih ada.
Dan ketika kampanye Pilgub DKI Jakarta yang mengusung Ahok-Djarot, barulah pengumpulan dana benar-benar murni dari warga melalui berbagai kegiatan yang telah saya sebutkan diatas. Apa efeknya? Jelas banyak, pimpinan daerah tidak lagi bisa dikendalikan dan ditodong oleh parpol pendukung agar melaksanakan kemauan si parpol tersebut.
Pengusaha hitam tidak ada alasan memeras si pemimpin agar mempermudah usahanya. Belum lagi bangsat-bangsat fundamentalis radikal tidak akan bisa menodong si pemimpin daerah tersebut dengan alasan minta dana hibah dan sebagainya. Satu-satunya hutang budi yang perlu dilunasi hanyalah kepada rakyat, karena kampanyenya menggunakan uang rakyat. Inilah demokrasi sesungguhnya. Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat.
Sampai disini, saya berpikir, apakah mungkin ini sebabnya partai pendukung Ahok terkesan setengah hati memberikan dukungan kepada Ahok saat pilkada yang lalu?. Well, bisa jadi demikian, bayangkan saja bila apa yang dilakukan oleh Ahok menjadi Trend dan ditiru oleh pejabat-pejabat lain.
Tentu para parpol akan kehilangan daya cengkeramnya untuk mengendalikan tokoh yang mereka dukung. Para parpol tentu tidak akan punya gigi lagi selain hanya sebagai tempat pengkaderan anggota politik. Dan yang pasti, pimpinan, apakah itu pimpinan daerah maupun pimpinan nasional seperti presiden lebih mandiri dan tegas menjalankan komitmennya tanpa harus tersandera oleh kepentingan parpol.
Awalnya saya mengira, tidak akan ada yang berani melakukan apa yang Ahok lakukan, ternyata dugaan saya keliru, yang melakukannya bukanlah individu, tapi sebuah partai, partai baru malah, namanya PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Baru-baru ini partai tersebut melakukan penggalangan dana dengan cara meluncurkan Kartu SAKTI (Kartu Solidaritas Anti-Korupsi dan Anti-Intoleransi).
Jadi Kartu Sakti tersebut dijual kepada masyarakat dengan nilai yang bervariasi, mulai dari Rp 25 ribu, Rp 100 ribu, Rp 1 juta, Rp 10 juta, Rp 100 juta, dan Rp 1 miliar
Nantinya uang hasil penjualan kartu tersebut atau yang didonasikan oleh masyarakat akan digunakan untuk mendanai para caleg yang maju dari PSI. Seperti salah satunya untuk dana kampanye.
Nah publik atau masyarakatlah yang akan mendanai PSI, dan seluruh uang yang terkumpul akan diaudit oleh auditor eksternal dalam kurun waktu setahun sekali dan langsung disampaikan ke publik.
Dan yang lebih keren lagi, kita memiliki hak suara, jadi 1 kartu itu mewakili 1 suara. Katakanlah suatu saat ada caleg dari PSI yang akan mengambil keputusan terhadap sebuah UU di DPR, maka kita bisa menggunakan hak suara yang kita miliki untuk menyatakan setuju atau tidak terhadap UU tersebut, istilahnya ada yang mewakili kita untuk bersuara di Lembaga Legislatif.
Efeknya apa? Jelas anggota legislatif dari PSI akan bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan, bukan apa yang diinginkan partai. Partai hanya menjadi wadah saja. Bahkan bila suatu saat ada calon dari PSI yang ingin maju ke Pilkada, maka dana kampanye yang dipergunakan adalah dana masyarakat.
Bila berhasil menang, maka Kepala daerah tersebut bertanggung jawab kepada masyarakat, bukan ke partai politiknya lagi. Luar biasa bukan?.
Hanya satu kritikan saya kepada PSI untuk hal ini, yaitu sosialisasinya kurang, saya yakin banyak masyarakat yang belum tahu. Bahkan termasuk pembaca yang membaca artikel ini. Betul bukan? Makanya saya bantu mensosialisaikan melalui tulisan saya ini, walaupun saya bukan anggota atau kadernya, setidaknya untuk saat ini.
Saya berharap, agar pola seperti ini dapat diikuti oleh partai politik lainnya dan kelak menjadi Trendsetter. Ini zamannya keterbukaan, partai-partai yang masih suka sembunyi-sembunyi dan bermain di wilayah abu-abu, pasti akan tersingkir, semakin cepat semakin baik.