“Tax ratio itu mengukur kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dari total perekonomian, dalam arti total produk domestik bruto. Sehingga, ukuran tax ratio itu menunjukkan seberapa mampu pemerintah membiayai keperluan-keperluan yang menjadi tanggung jawab negara. Jadi, kalau tax ratio rendah berarti dia tidak terlalu mampu banyak berbuat. Kalau tax ratio tinggi berarti dia lebih banyak mampu berbuat melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” jelas Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan pada Selasa, (19/02) di kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta.
Ia melanjutkan bahwa definisi rasio pajak yang digunakan Indonesia adalah dalam arti luas. Artinya tidak hanya memasukkan komponen pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, bea masuk dan cukai saja namun juga memasukkan royalti Sumber Daya Alam (SDA) sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Kita sekarang menuju ke luas. Definisi arti sempit, murni pajak seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, bea masuk dan cukai itulah yang murni pajak. Tetapi di dalam arti yang lebih komprehensif khususnya yang direkomendasi OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) adalah dalam arti luas, dimana memasukkan juga royalti SDA (Sumber Daya Alam). Memang royalti itu ada yang berpendapat bukan pajak, ada pajak, kalau di Indonesia di APBN kita, penerimaan dari royalti itu masuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Sekarang kita memasukkan royalti dari migas dan royalti PNBP dari pertambangan umum sebagai komponen tax ratio,” jelasnya.
Namun demikian, ia menekankan bahwa sistem penerapan rasio pajak di Indonesia belum sepenuhnya dalam arti luas karena pajak dari daerah belum ikut dimasukkan dalam komponen penghitungan.
“Kita sedikit, belum fully luas karena daerah sepertinya belum dimasukkan tapi bisa dikatakan sudah dalam arti luas. Artinya tidak (hanya) PPh (Pajak Penghasilan) PPN (Pajak Pertambahan Nilai), bea masuk cukai saja. Jadi, kita sekarang menggunakan definisi dimana total penerimaan perpajakannya adalah penerimaan yang dihandle DJP (Direktorat Jenderal Pajak) ditambah DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) ditambah PNBP Migas dan PNBP Pertambangan Umum, itu yang kita pakai,” paparnya.
Terkait besaran ideal rasio pajak yang patut dimiliki oleh Indonesia, Dirjen Pajak menjelaskan bahwa kondisi saat ini sedang mengarah ke angka ideal menurut standar internasional, yaitu ke arah 15% keatas. Namun, hal itu harus dilakukan perlahan secara bertahap dari angka terakhir tahun 2018 sebesar 11,5% agar tidak menimbulkan guncangan ekonomi.
“Kalau di Indonesia sekarang ini, angka terakhir tahun 2018 itu 11,5% ratio kita. Jadi, menurut kami idealnya perlahan-lahan kita naik mengarah ke 15% tetapi harus secara gradual, sedikit less than 1% tumbuhnya 1 tahun, jangan tiba-tiba karena kalau tiba-tiba besar, ekonominya kaget. Tiba-tiba tadinya biasanya dibelanjakan swasta tiba-tiba dibelanjakan pemerintah. Kan, belum tentu bagus juga terhadap ekonomi,” tuturnya.
Selain itu, ia menambahkan bahwa untuk menaikkan rasio pajak perlu perangkat pendukung yang banyak seperti unsur administrasi perpajakannya, pajak bea cukai maupun bisa PNBP, juga struktur ekonominya.
“Kedua, untuk menaikkan tax ratio perlu perangkat yang banyak. Itu karena tax ratio itu tidak semata-mata tergantung dari Dirjen Pajak atau Kementerian Keuangan atau Dirjen Bea Cukai. Tax ratio itu juga hasil dari unsur administrasi perpajakannya, pajak bea cukai maupun PNBP, juga struktur ekonominya,”ujarnya.
Untuk pembahasan mengenai tax ratio Indonesia selengkapnya dapat dibaca pada tautan Media Keuangan berikut ini: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/e-magazine/media-keuangan/.
(nr/ds)