
Seorang pemuda ceking sedang bermain bola bilyar dengan teman-temannya. Tiba-tiba datang seorang yang berbadan tinggi besar. Entah karena apa, dia begitu saja mengolok-olok pemuda kurus itu dan mempermalukannya di depan banyak orang. Meski mukanya merah, pemuda keceng itu diam saja. Dia ngeloyor pergi tanpa sepatah kata pun. Diam-diam dia membawa beberapa bola bilyar di meja sebelah yang menganggur.
Ketika ‘preman’ berbadan kekar itu sedang konsentrasi meyodok bola, pemuda kurus yang tadi dia permalukan sudah berada di belakangnya. Tanpa kata dia mengayunkan kaos kaki berisi beberapa bola bilyar serta menghantamkannya ke kepala belakang musuhnya sekeras-kerasnya. Seketika dia mendelosor ke lantai dengan kepala berlumuran darah. Seperti saat datang, demikian juga perginya. Pemuda itu pergi dengan diam. Semua orang terpana.
Diam di alam nyata, ramai di dunia maya
Saat ini kita menyaksikan drama yang sama di alam nyata. Di satu sisi, dunia kita sedang hingar bingar. Semua orang tiba-tiba saja menjadi pakar di bidang apa saja. Bisa saja mereka diam di pergaulan, namun ramai di sosial media. Lihat betapa riuhnya orang berkomentar untuk menanggapi fenomena, peristiwa, atau berita tertentu, apalagi yang sedang viral. Puncak keramaian terjadi saat ada pesta demokrasi. Pilpres dan pilkada DKI yang lalu seolah menjadi puncak kegaduhan massa.
Meskipun pilpres sudah ketahuan hasilnya dan pilkada DKI pun demikian, gaungnya masih terdengar sampai sekarang. Baik pihak yang menang maupun yang kalah sama-sama heboh. Yang menang melakukan pagar betis untuk mengamankan suara di pemilihan yang akan datang, sedangkan yang kalah masih ada yang galau dan gagal move on dengan harapan bisa menang di pemilihan mendatang. Akibatnya, media massa baik cetak maupun daring tidak berhenti berdering.
Jika keramaian saling hujat maupun saling bela baik dari fans, haters maupun buzzer masing-masing terjadi di media daring, aksi diam dipertontonkan di ruang pengadilan. Ada orang-orang tertentu yang karena terpojok atau takut salah bicara sering irit omong. Bisa jadi karena keinginan sendiri, dapat juga ‘disuruh’ tim pengacaranya. Pertanyaan yang diajukan penyidik dijawab pendek-pendek. Itu pun jawaban yang normatif seperti ‘tidak’, ‘tidak tahu’, dan—ini yang menjengkelkan—‘lupa’. Orang-orang yang biasanya jago ngomong tiba-tiba bisa amnesia semua.
Penyidik juga dibuat bingung atau diam-diam jengkel karena yang ditanya memilih untuk diam.
Apa definisi diam?
Bagaimana orang mengartikan diam? Sulit, bukan? Kamus Besar Bahasa Indonesia memang menerjemahkan kata diam sebagai (1) tidak bersuara (berbicara, (2) tidak bergerak (tetap di tempat), (3) tidak berbuat (berusaha) apa-apa.
Jelas? Artinya ya. Namun, bagaimana mengartikan orang yang diam seribu bahasa? Dia memang tidak bersuara, tetapi bukan berarti tidak bergerak, apalagi tidak berbuat (berusaha) apa-apa. Justru di dalam diamnya dia berusaha agar kasusnya tidak terbongkar. Apakah tujuannya bisa tercapai kalau dia diam saja? Tentu tidak. Artinya, bisa jadi dia diam di pemeriksaan atau pengadilan, tetapi ramai menyusun strategi dengan tim pengacaranya agar lolos dari lubang jarum yang terus-menerus diperbesar.
Di dalam film ‘Silence of the Lambs’, diam berarti mencekam dan mengerikan. Apakah tersangka yang diam menunjukkan kesantunan? Menurut saya tidak. Bisa jadi—seperti yang saya utarakan di atas—justru menjengkelkan para penegak hukum. Jika mereka salah bertindak karena dilandaskan emosi, bisa jadi malah kalah.
Dr. Hannibal Lecter dalam film thriller yang ngetop pada tahun 1991 di dalam kediamannya justru menyimpan kengerian seorang psikiater yang kanibal. Pemuda ceking yang diam saat di-bully, ternyata menyimpan lava membara yang saat meletus bisa jadi lebih dahsyat dari ledakan Gunung Agung.
Setali tiga uang. Orang yang diam bisa juga mempunyai dendam terhadap orang-orang yang berusaha memenjarakannya. Seperti gurita raksasa, tubuh bisa berada di balik penjara, tetapi tentakelnya bisa menerobos terali besi untuk menghabisi orang-orang yang dianggap menyakitinya.
Film yang melambungkan Jodie Foster dan Anthony Hopkins ini juga bertutur tentang domba-domba yang ‘mengembik’ saat tahu dirinya bakal disembelih. Tangisan domba itu terus-menerus terngiang di telinganya dan trauma atas terbunuhnya sang ayah yang polisi membuat Clarice Sterling (Jodie Foster) bersedia ditugaskan Crawford (Scott Glenn) untuk mewancarai kanibal Hannibal yang mengerikan. Meskipun Clarice tahu bahwa domba yang dia coba selamatkan di waktu kanak-kanak tetap disembelih, dia bertekad bahwa hukum harus ditegakkan.
Diam dilawan operasi senyap
Film Silence of the Lambs dan drama di ruang pengadilan ini mengingatkankan saya akan domba yang tiba-tiba menjadi kelu di hadapan para penggunting bulunya. Manakah yang bakal menang apakah orang yang memakai jurus aksi diam atau yang diam-diam melakukan operasi senyap untuk mengguntingi bulu pelindung yang oleh beberapa orang dianggap serigala berbulu domba? Bukan hanya waktu yang akhirnya mengungkapkan kebenaran, tetapi kebenaran hakikilah yang akhirnya menang melawan kebenaran penuh kepura-puraan.
Nah, apakah diam itu emas? Terserah yang menafsirkannya, Mas!
Xavier Quentin Pranata, dosen, pembicara publik dan penikmat sastra yang tidak suka ‘drama’ dan ‘sandiwara’.