Indovoices.com – Delegasi Food and Agriculture Organization (FAO) melakukan kunjungan ke sejumlah kota di Indonesia untuk melihat perkembangan proyek pertanian hasil kerja sama organisasi tersebut dengan Indonesia. Proyek tersebut mencakup pengembangan kapasitas pertanian dan penjagaan keamanan pangan untuk masyarakat Indonesia. Kunjungan yang dipimpin oleh Duta Besar Nigeria untuk Lembaga PBB di Roma, Yaya Adisa Olaitan Olaniran, ini dilaksanakan pada tanggal 31 Oktober – 3 November 2018 di Jakarta, Yogyakarta dan Bali.
Kunjungan yang dilakukan oleh FAO ini menjadi wadah untuk mengkomunikasikan proyek terkait pertanian dan keamanan pangan yang belum terintegrasi. Saat ini, nilai proyek pengembangan kapasitas agrikultur FAO di Indonesia mencapai nilai US$351 juta di berbagai lokasi.
Mewakili Pemerintah Indonesia, Wakil Menteri Luar Negeri, AM Fachir dalam sambutannya menekankan pentingnya keberlanjutan proyek ini mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar. Ia juga menyampaikan bahwa masalah keamanan makanan menjadi fokus pemerintahan Indonesia.
Dari kunjungan ini, Delegasi FAO mempunyai tugas untuk menjelaskan pelaksanaan pengembangan proyek hasil kerja sama pertanian dan keamanan pangan ke forum council dan Office of Support to Decentralized Offices (OSD) di kantor pusat FAO.
Indonesia jadi Percontohan Minapadi ke Asia Pasifik
Dalam kunjungan ke Indonesia, Delegasi FAO mengunjungi Kabupaten Sukaharjo untuk meninjau kerjasama FAO – Kementerian Kelautan dan Perikanan di bidang minapadi serta melakukan penanaman padi dengan menggunakan rice transplanter. Sistem pertanian mina padi akan terus dikembangkan karena dapat meningkatkan hasil produksi pertanian dan perikanan untuk menyejahterakan petani dan terpenuhinya kebutuhan pangan.
Program Minapadi yang digarap KKP bersama FAO di Kabupaten Sukoharjo menjadi percontohan internasional dan telah memposisikan Indonesia sebagai salah satu rujukan FAO di level Asia-Pasifik, dan saat ini sudah dikenalkan ke lima benua. FAO telah mendukung program Minapadi di Indonesia sejak tahun 2016.
IVM Online, Proyek untuk Pengendalian dan Penanggulangan Flu Burung
Delegasi FAO juga memberikan apresiasi kepada Kementerian Pertanian terutama Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah berhasil mengembangkan suatu jejaring inovasi dalam upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit AI (Avian Influenza) atau biasa disebut Flu Burung. Hal ini disampaikan oleh Pimpinan Delegasi FAO di Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, Jumat (2/11).
Jejaring tersebut adalah Influenza Virus Monitoring (IVM) Online yang merupakan sebuah sistem untuk memonitor sifat antigenic dan genetic dari virus avian influenza (AI) khususnya Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) pada unggas di Indonesia. Sistem ini terintegrasi secara online dan hasilnya dapat ditampilkan dalam sebuah map (peta). Jejaring inovasi tersebut telah sukses mengkarakterisasi isolat virus AI secara antigenik, genetik dan biologis.
Sejak peluncurannya pada tahun 2014 telah memberikan dampak yang signifikan dalam upaya pengendalian dan penanggulan penyakit AI. Program IVM online merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dengan FAO-OFFLU dalam meningkatkan sistem monitoring perubahan (evolusi) virus dan deteksi dini virus AI varian baru di Indonesia. Dalam kegiatan ini Indonesia mendapat dukungan laboratorium referensi OIE seperti Australian Animal Health Laboratory (AAHL).
“Contoh jejaring dari IVM Indonesia ini memiliki relevansi dengan negara-negara lain yang ingin membangun jaringan laboratorium untuk surveilans molekuler AI dan penyakit menular (patogen) lainnya. Ini sesuai dengan kerangka kerja strategis FAO-Regional untuk peningkatan kapasitas laboratorium” ujar Yaya.
Kebun Salak Sibetan jadi Calon Warisan Pertanian Dunia
Setelah mengunjungi Solo dan Yogyakarta, Delegasi FAO mengunjungi Kabupaten Karangasem, Bali untuk meninjau Kebun Salak yang sudah ada sejak abad ke-14. Lahan budidaya salak ini mencapai 4.209 hektare dan sedang diajukan untuk menjadi salah satu situs Globally Important Agricultural Heritage System (GIAHS) atau warisan pertanian dunia. Hal ini dikarenakan tradisi pemanfaatan alam dan landskap yang menggabungkan keanekaragaman hayati pertanian, ekosistem yang kuat dan warisan budaya yang berharga.
Bupati Karangasem, IGA Mas Sumatri menyampaikan, tanaman salak pertama kali diperkirakan dikembangkan pada zaman Ki Dukuh sakti Sibetan sekitar 300 tahun lalu. Dari prasasti Ki Dukuh Sakti itu, diketahui tanaman yang dikembangkan saat itu wani dan salak. Kini, tanaman salak berkembang dan petani menemukan setidaknya 12 jenis, seperti salak gula pasir, salak nangka, salak putih atau salak toris, salak barak serta salak muani.
‘’Kami berharap tim perwakilan dari FAO di bidang pangan dan pertanian itu, bisa membantu sehingga di Karangasem ada GIAHS. Perkebunan salak di Karangasem sebagai konservasi, dengan hamaparan indah dan layak dikunjungi dalam rangka liburan dan kegiatan lainnya,’’ ujarnya