Oleh : Gurgur Manurung
Tanggal 4 November 2018 yang lalu di Desa Sibisa, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara adalah hari yang bersejarah bagi Marga Tambunan. Hari itu bersejarah karena nenek moyang mereka atau leluhur mereka yang lahir diperkirakan sekitar 600 tahun lalu di Sibisa dikunjungi seluruh keturunannya dari seluruh Nusantara.
Leluhur marga Tambun dan Tambunan yang disebut Raja Tambun menikah dengan putri Raja Toga Manurung bernama Pinta Haomasan. Raja Tambun remaja tinggal di rumah ibunya di wilayah pamannya marga Manurung.
Marga Tambun dan Tambunan berwisata leluhur ke Sibisa dan mengadakan pesta meriah di Sibisa dan sudah menyiapkan lahan untuk membangun Raja Tambun centre atau pusat kajian budaya dan sosial bagi keturunan Raja Tambun.
Dalam kegiatan kegiatan wisata budaya itu, hal yang sangat menarik adalah keturunan Raja Tambun mengundang pamannya keturunan Raja Toga Manurung. Dan di kegiatan itu jugalah penyerahan janji yang diberikan Raja Toga Manurung kepada berenya ( keponakannyaa) sebidang tanah (7 batange/7 petak) sawah di Sibisa.
Sebidang sawah yang diberikan Raja Toga Manurung sekitar 600 tahun lalu itu kini diolah oleh Marisi Manurung keturunan Raja Toga Manurung.
Marisi Manurung dalam acara itu menuturkan bahwa ayahnya selalu menjelaskan bahwa sawah itu milik Raja Tambun dan menjadi icon. Ayah Marisi Manurung selalu menyebutkan sawah Raja Tambun itu menjadi patokan. Misalnya, aku membajak sawah di Selatan sawah amangboru si Raja Tambun, atau di Timur, Utara, Barat sawah Raja Tambun. Patokan sawah si Raja Tambun itu membuat si pemilik sawah itu diketahui keturunan Raja Toga Manurung hingga berkisar 600 tahun.
Jika keturunan Raja Toga Manurung mengetahui lahan sawah itu sekitar 600 tahun lalu, mengapa keturunan Raja Tambun mengingat dan mencarinya 600 tahun kemudian?
Mengapa pesan atau janji pemberian 600 tahun lalu bisa dipahami dua keturunan yang berbeda isinya sama?
Bukankah isi perjanjian itu tidak tertulis? Inilah dahsyatnya kejujuran dan pesan yang diberikan leluhur kita.. Janji tanpa tertulis pun bisa dipahami bersama jika janji itu selalu ditanamkan orang tua.
Seacara rasional, bagaimana mungkin sawah yang diberikan sekitar 600 tahun lalu bisa ditemukan dan diberikan kembali kepada pemiliknya dengan suka cita? Bukankah sekarang kawasan Sibisa adalah kawasan lahan yang sangat mahal dengan kehadiran Badan Otorita Kawasan Danau Toba (BODT).
Inilah fakta, rasionalitas dan godaan bukan merupakan alasan untuk tidak jujur dan menghormati pesan leluhur. Inilah kearifan lokal itu. Semua berlangsung baik dan penuh kegembiraan karena kejujuran dan hubungan yang terpelihara.
Dalam cerita yang dipahami keturunan Raja Toga Manurung dan Raja Tambun bahwa orangtua Raja Tambunan diberikan sebidang sawah ( 7 batange/petak), auth). Cerita Nangka dan petai itu adalah simbol dan maknanya perlu digali oleh keturunan Raja Toga Manurung dan Raja Tambun.
Perlu kita sadari era milenial ini kelemahannya adalah kurang menggali makna yang berpengaruh terhadap budaya dan kehidupan sosial.
Dalam konteks wisata leluhur kemarin itu, muncul pertanyaan di benak saya. Keturunan Raja Tambun meninggalkan leluhurnya. Tidak ada yang tinggal di Sibisa. Keturunan Raja Tambun ada di Tambunan dekat Balige dan Sigotom di Tapanuli Utara. Keturuananya begitu luas dan kesohor. Keturunannya pernah menjadi Gubernur yang melegenda yaiti Gubernur Sumatera Utara yaitu EWP Tambunan. Banyak pula yang lain yang sukses. Mereka sudah berkontribusi besar bagi kemajuan negeri ini.
Mereka dikenal dengan Sumber Daya Manusianya (SDM) yang bagus. Semua itu bermula dari 7 petak sawah dari Sibisa. Karena itu, kini kita sadar dahsyatnya SDM bagi kemajuan.
Wisata leluhur keturunan Raja Tambun memberi pembelajaran bagi kita akan makna pentingnya sejarah, kejujuran dan menanamkan pesan/nilai kepada keturunan kita. Janji tertulis itu penting, tetapi lebih penting adalah memberikan pesan secara utuh kepada keturunan kita. Dalam bahasa Batak dikatakan, “memehon nadenggan tu iankkonmu“.
Bangsa ini perlu belajar dari hubungan keturunan Raja Toga Manurung dan Raja Tambun dalam menghargai sejarah dan mengingat arti sebuah janji.
#gurmanpunyacerita