Indovoices.com – Urgensi Perubahan Iklim serta Posisi Indonesia kembali dibahas dalam Pertemuan Multi-stakeholders Pembahasan Dialog Talanoa. Dialog Talanoa merupakan dokumen kerja yang dihasilkan pasca-Sidang COP23 di Bonn, Jerman.
Dialog ini yang diselenggarakan oleh Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Senin (15/10). Dokumen ini secara garis besar mengangkat isu-isu utama bagi negara-negara yang turut menandatangani Paris Agreement, yaitu status, target, dan strategi untuk pencapai target-target terkait perubahan iklim.
Diungkapkan Hardiv Situmeang, Anggota Dewan Pertimbangan Penanganan Perubahan Iklim – KLHK yang juga Anggota Scientific Board Balitbang Kementerian ESDM dan Dewan Riset Nasional, Indonesia harus mampu memastikan compatibility kebijakan dan implementasi untuk mencapai target menjaga kenaikan suhu antara 1,5-2 derajat Celcius.
Hal itu mencakup inisiatif-inisiatif dan best practices dari berbagai sektor, pemangku kepentingan, serta level mulai dari tingkat nasional hingga daerah (provinsi hingga kabupaten/kota).
Hardiv menyampaikan, pertemuan kali ini membahas dan merangkum update implementasi dari berbagai pemangku kepentingan baik dari pemerintah, non-pemerintah, badan usaha maupun akademisi yang ditujukan sebagai persiapan posisi Delegasi Republik Indonesia di Persidangan Perubahan Iklim COP24 UNFCCC yang akan diadakan di Katowice, Polandia pada 2 s.d 14 Desember 2018.
Melalui Paris Agreement, negara-negara pada persidangan COP21 UNFCCC pada 2015 lalu bersepakat untuk menjaga kenaikan suhu antara 1,5-2 derajat Celcius. Target tersebut ditetapkan setiap negara melalui Intended Nationally-Determined Contributions (INDC), yang menjadi panduan bagi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Pada INDC-nya di Paris Agreement, Indonesia dmenargetkan penurunan emisi pada 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional. Energi merupakan salah satu sektor utama dalam pencapaian INDC Indonesia pada Paris Agreement, yang berkontribusi pada 40% emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Pemerintah Indonesia telah menargetkan bauran EBT sebesar 23% serta efisiensi energi sebesar 17% pada 2025.
Tantangan-tantangan Utama
Tiga bulan ke depan merupakan bulan-bulan krusial dalam penanganan perubahan iklim. Pada Pertemuan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) di Incheon, Korea Selatan akhir pekan lalu, para pakar dan ilmuwan merilis dokumen IPCC Special Report yang pada intinya pesimistis pada pencapaian target Paris Agreement di tahun 2030.
Berdasarkan dokumen tersebut, para pakar menegaskan perlunya “upaya yang luar biasa” untuk mencegah kenaikan suhu tidak melebihi 2C.
Seperti yang dilansir pada BBC.com, dalam Special Report tersebut, disebutkan bahwa dibutuhkan 2,4 Triliun USD dari tahun 2016-2035 untuk menjaga kenaikan suhu tidak melebihi 1,5C.
Pendanaan merupakan isu utama yang dihadapi negara-negara dalam penanganan perubahan iklim, khususnya negara berkembang. Tantangan pendanaan tersebut berkaitan dengan integrasi program-program “hijau” dengan pasar perekonomian dan institusi keuangan.
Pada Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Group yang baru saja digelar di Bali, 8-14 Oktober 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan Komitmen Indonesia dalam membangun ekonomi hijau dalam rangka membangun sentimen positif pasar pada pembangunan berkelanjutan, yang tujuan-tujuannya telah ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Selain mengandalkan pembiayaan APBN, pendanaan proyek-proyek berbasis lingkungan dan perubahan iklim juga melibatkan sektor swasta melalui sukuk hijau (green sukuk) dan obligasi hijau (green bonds).
Tantangan utama berikutnya dalam penanganan perubahan iklim adalah sinkronisasi kebijakan dan implementasi penangangan perubahan iklim lintas sektoral.
Walaupun sinkronisasi kebijakan pro-perubahan iklim hingga tingkat daerah masih menjadi tantangan yang besar, terdapat sejumlah daerah yang telah memiliki inisiatif dan mengimplementasikan kebijakan terkait perubahan iklim, seperti misalnya Kota Surabaya.
Dikutip dari Laman Resminya, Kota Surabaya telah mampu menurunkan suhu 2 derajat Celcius melalui pembuatan 45 hektar hutan kota, 35 hektar median hijau, dan 420 taman kota dengan total 133 hektar ruang hijau. Selain penciptaan ruang hijau, Surabaya menjadi kota yang unggul dan menjadi percontohan dalam pemanfaatan sampah menjadi energi listrik. Dari kapasitas saat ini 2 MW, Surabaya menargetkan 9 MW pada 2019.
Penulis: Yohanes Nindito/ Khoiria Oktaviani