Batas usia manusia bertambah panjang. Bila anda termasuk manusia yang getol hidup lama, mahluk yang perlu diberi tanda terimakasih adalah teknologi. Perkembangan teknologi semakin mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan mempertahankan kesehatan manusia, serta membuat hidup manusia bertambah nyaman.
Tapi tidak semua teknologi membuat masyarakat lebih sehat dan nyaman. Mereka dengan bahagia memuja teknologi, dan karena ini pula, ketergantungan pada pengeras suara semakin menjadi-jadi. Hampir semua acara, pesta dan perayaan dilengkapi dengan pengeras suara yang fungsinya tidak lagi membantu manusia untuk mendengar, tapi lebih kepada memekakkan telinga hadirin bahkan masyarakat sekitarnya. Di plaza-plaza, tempat permainan anak juga sudah dijajah oleh suara yang memekakkan. Seringkali suara kita sendiri menjadi hilang karenanya, sehingga bila kebisingan ini menyerbu, kita harus saling berteriak untuk bisa berkomunikasi dengan sesama.
Masih saja, bahaya kebisingan tidak begitu disadari oleh masyarakat. Padahal, seringkali gangguan pendengaran itu terjadinya bertahap. Sehingga manusia sendiri terkadang tidak tahu ketika pendengaran mereka sudah berkurang. Padahal, gangguan pada pendengaran tidak saja berdampak pada berkurangnya sensitifitas pada suara, namun juga bisa mempengaruhi mekanisme tubuh yang lebih luas, seperti tekanan darah, denyut jantung dan sistem pencernaan. Telinga kita juga mempunyai rumah siput yang menjaga fungsi keseimbangan. Bila fungsi ini terganggu, maka manusia akan lebih mudah mengalami depresi, insomnia dan beberapa penyakit lain seperti vertigo. Hal ini seringkali terjadi tanpa disadari – jadi, jangan menunggu sampai jadi tuli!
Tidak saja manusia yang terganggu, bahkan binatang (yang semakin terdesak oleh hutan beton), juga bisa mengalami gangguan yang luar biasa. Misalnya: gangguan komunikasi di antara mereka. Binatang yang seringkali diserang oleh polusi suara juga lebih mudah menjadi agresif daripada yang tidak. Bahkan polusi kebisingan terbukti ikut bertanggung jawab atas semakin punahnya ikan paus di dunia. Arthur Popper, ahli kebisingan dalam dunia laut dari University of Maryland, menjelaskan bahwa bunyi-bunyi keras dari kapal atau kendaraan bermotor lain, sangat mengganggu nyanyian ikan paus. Padahal, dengan nyanyian ini mereka berkomunikasi, mencari makan bersama, mencari kelompok mereka dan bahkan mengirim tanda SOS bila berada dalam bahaya. Bayi-bayi mereka pun mengalami tingkat kematian yang jauh lebih tinggi karena adanya polusi suara ini.
Decibel – ukuran suara
Hampir semua orang tahu ukuran jarak (meter, kilometer dst), waktu (detik, jam, hari dst) atau berat. Tapi ukuran suara? Ketidaktahuan ini seringkali adalah pertanda ketidakpedulian masyarakat terhadap kebisingan. Padahal ukuran ini hanya satu kata yang sama sekali tidak seram: Decibel (Db).
Di tempat-tempat yang sepi, ukuran decibelnya akan rendah. Misalnya:
- Di perpustakaan (yang keheningannya dijaga): 35-40 decibel
- Orang berbicara normal: 50-55 decibel
- Tempat permainan anak di Plaza-plaza Indonesia: 90-95 decibel
Pendengaran manusia akan terganggu bila mendengar suara yang lebih dari 80 decibel. Ini juga tergantung dari lama suara tersebut. Bila tidak lebih dari 15 menit, maka gangguan yang dialami akan minimal. Tapi bila lebih dari 15 menit, gangguan akan semakin besar, apalagi bila dialami hampir setiap hari. Bayangkan anak-anak yang bermain di plaza berjam-jam dan dijajah oleh bunyi yang begitu keras? Kerusakan pendengaran sebesar apa yang akan mereka alami?
Karena itulah, komponis Slamet Abdul Sjukur menyebut kebisingan ini sebagai “bahaya nasional”. Ancaman ini sudah tumbuh dimana-mana dan semakin meraja-lela. Bahkan gaya hidup kita semakin tidak bisa dipisahkan dari penjajahan bunyi ini. Suara mesin cuci, pengering rambut, penghisap debu, alat pemotong rumput – semua menjadi bagian yang diterima oleh masyarakat.
Peraturan Decibel (dB) di beberapa Negara:
Di beberapa Negara, sudah diberlakukan peraturan batas maksimal decibel yang cukup ketat. Ini adalah contoh batas decibel yang diberlakukan di Australia, Britania Raya (dan baru-baru ini, sangat diusahakan di Malaysia):
Maksimal kekerasan suara dalam dB, antara Jam 22.00 – 6.00
Daerah Industri: 70 dB
Daerah Perdagangan: 55 dB
Daerah Perumahan: 45 dB
Di Indonesia, Menaker juga telah mengeluarkan peraturan batas decibel. SK Menaker 1999 menentukan:
- Suara 80 decibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 24 jam
- Suara 82 decibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 16 jam
- Suara 85 decibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 8 jam
Dibandingkan dengan tabel di atas, tentu saja batas di Indonesia masih jauh daripada batas-batas di Negara-negara lainnya. Artinya, pemerintah kita masih lebih santai dalam menanggapi kerusakan kesehatan rakyatnya (bandingkan batas di atas, yang hanya mencantumkan angka 70 decibel, sedangkan pemerintah masih cukup kalem dengan 85 decibel). Ini pun masih dengan mudah dilanggar begitu saja.
Masyarakat Bebas-Bising
Karena pemerintah kita yang lebih ribut bila mikrofon tidak bekerja (padahal, seperti yang disebut di atas, alat pengeras suara telah ikut bertanggung jawab atas polusi kebisingan), Masyarakat Bebas-Bising menjadi organisasi yang jauh lebih bertanggung-jawab daripada pemerintah dalam mengingatkan masyarakat akan “bahaya nasional” ini. Didirikan pada tanggal 23 Januari 2010, Masyarakat Bebas-Bising mencoba meningkatkan kesadaran masyarakat melalui kampanye anti bising.
Dana yang didapat amat minim, sehingga para pendiri seringkali harus merogoh kocek mereka untuk kegiatan seperti di atas. Namun semua kegiatan ini akan sia-sia bila masyarakat secara luas tidak terlibat untuk mewujudkan lingkungan bebas-bising. Masih banyak kelompok masyarakat yang mengagungkan kebisingan dan mengharuskannya dalam perayaan hari besar. Tahun Baru hampir selalu dipenuhi dengan suara terompet, kembagn api, mercon yang memekik. Bahkan, tidak jarang yang melepas peredam knalpot sepeda motor mereka sehingga suaranya memekakkan telinga. Apakah perayaan selalu harus sama dengan kebisingan? Sedangkan di Bali, pada hari Raya Nyepi, masyarakat sudah membuktikan bahwa perayaan hari Besar bisa sangat berarti dengan keheningan.
Mungkin pada perayaan hari besar mendatang, kita bisa mencoba untuk mengurangi polusi suara. Dari suara terompet tahun Baru, pengeras suara, atau mesin-mesin lainnya. Paling tidak, kita mencoba menikmati suasana yang tidak bising, dan mengajak saudara atau teman kita untuk lebih menyadari hal ini juga.
Soe Tjen Marching, pendiri Majalah Bhinneka dan salah satu pendiri Masyarakat Bebas-Bising. Novelnya Mati Bertahun yang Lalu diterbitkan oleh Gramedia.