Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M. Djuraid, dalam cuitannya yang diunggah di akun twitternya beberapa saat lalu mengemukakan, Pertamina diputuskan sebagai pengelola Blok Rokan karena proposal yang lebih baik: signature bonus 784 dollar AS juta atau Rp11,3 triliun, komitmen kerja pasti 500 juta dollar AS (Rp7,2 triliun), dan diskresi 8%.
“Signature bonus adalah dana yang harus dibayarkan kontraktor ke penerintah sebelum kontrak ditandatangani. Ini untuk menunjukkan keseriusan sekaligus kesiapan dan bonafiditas kontraktor,” tulis Hadi.
Dengan demikian, lanjut Hadi, pemerintah akan mendapatkan dana segar sebesar Rp11,3 triliun dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang bisa jadi merupakan PNBP terbesar selama ini dalam satu kali transaksi.
Adapun potensi pendapatan negara dalam berbagai bentuk selama 20 tahun, menurut Hadi, mencapai sekitar 57 miliar dollar AS atau Rp825 triliun. Ini masih belum termasuk multiplier effect yang disebut amat signifikan bagi perekonomian setempat dan nasional, paska keputusan pemerintah menyerahkan pengelolaan Blok Rokan kepada PT Pertamina (Persero) itu.
Sebagai informasi, Blok Rokan sendiri termasuk blok migas yang bernilai strategis. Produksi migas blok rokan menyumbang 26% dari total produksi nasional.
Blok yang memiliki luas 6.220 kilometer ini memiliki 96 lapangan dimana tiga lapangan berpotensi menghasilkan minyak sangat baik, yaitu Duri, Minas, dan Bekasap. Tercatat, sejak beroperasi 1971 hingga 31 Desember 2017, total di Blok Rokan mencapai 11,5 miliar barel minyak sejak awal operasi.
Bukan Tekanan Politik
Melalui cuitannya itu, Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M. Djuraid juga menampik adanya pertimbangan politik termasuk tekanan publik terkait keputusan pemerintah menyerahkan pengelolaan blok migas terbesar di tanah air yang selama ini dikelola oleh Chevron kepada Pertamina itu.
“Parameter yang digunakan adalah ekonomi dan bisnis dalam kerangka kepentingan nasional, bukan parameter politik tekanan publik, dll. Yang dipilih adalah proposal yang paling mmberi nilai lebih dan keuntungan maksimal bagi negara,” ungkap Hadi.
Ia menjelaskan, sebelum diputuskan untuk diserahkan kepada Pertamina, Chevron selaku kontraktor existing dan Pertamina diberi kesempatan pertama untuk mengajukan proposal pengelolaan Blok Rokan pasca habis kontrak Chevron tahun 2021. Jika proposal keduanya dinilai tidak layak, akan dilelang secara terbuka. Penilaian dilakukan oleh Tim 22 WK yang dibentuk Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk mengevaluasi blok-blok migas yang telah habis masa kontrak, termasuk evaluasi Blok Rokan itu.
Berdasarkan owner estimate itu, lanjut Hadi, dirumuskan 3 variabel utama penilaian: minimal signature bonus yang harus dibayar ke pemerintah, komitmen kerja pasti, dan diskresi untuk besaran split antara pemerintah dan kontraktor.
Adapun tenggat submit proposal final adalah Selasa 31 Juli 2018 pkl 17.00 WIB. Langsung dievaluasi oleh Tim 22 WK, diputuskan oleh Menteri ESDM, dan diumumkan hari itu juga selepas Isya.
“Pertamina diputuskan sebagai pengelola Blok Rokan karena proposal yang lebih baik: signature bonus 784 juta dollar AS atau Rp11,3 triliun, komitmen kerja pasti 500 juta dollar AS (Rp7,2 triliun), dan diskresi 8%,” papar Hadi.
Kini dengan telah adanya keputusan, menurut Hadi, tantangan paska alih kelola adalah menjaga tingkat produksi, agar kontribusi Blok Rokan sebesar 26% dari total produksi migas nasional tetap terjaga, bahkan ditingkatkan.
“Kita yakin Pertamina mampu menjawab tantangan itu,” ucap Hadi.
Dengan mengelola Blok Rokan, Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M. Djuraid meyakini, kontribusi Pertamina terhadap produksi migas nasional akan melonjak hingga 60%.
“Tahun 2018 kontribusi Pertamina baru 36% dan tahun depan 39%. Pasca 2021, Pertamina layak masuk jajaran World Top Oil Company,” ujar Hadi. (ES)