Kisah kereta api dengan satu penumpang ini terjadi di Jepang, diceritakan bahwa sebuah perusahaan kereta api yang tetap mengoperasikan sebuah stasiun demi untuk melayani seorang penumpang, ya seorang penumpang!
Penumpang tersebut adalah seorang siswi yang tinggal di Hokkaido, Jepang, selama tiga tahun terakhir. Siswi itu dilaporkan menjadi satu-satunya penumpang yang menggunakan kereta api pada pukul 07.04 dan 17.08 yang melewati stasiun terpencil Kami-Shirataki.
Sydney Morning Herald, Senin 11 Januari 2016 melaporkan, tiga tahun lalu, Hokkaido Railway Co memutuskan untuk menutup stasiun itu karena lokasinya yang terpencil. Stasiun tersebut nyaris sudah tidak terpakai.
Namun pihak kereta api kemudian mengetahui bahwa masih ada seorang siswi yang menggunakan layanan kereta di stasiun itu untuk perjalanan sehari-hari ke sekolah, setingkat SMU, perusahaan kereta api itu memutuskan untuk mempertahankan stasiun tersebut sampai siswi itu lulus pada Maret tahun ini.
Hebatnya lagi, perusahaan itu menyesuaikan jadwal perjalan kereta agar cocok dengan jadwal berangkat sekolah siswi yang tidak disebutkan namanya itu.
Namun sebuah koran Singapura, The Straits Times membuat laporan yang berbeda dan menyebutkan, bahwa kisah kereta api dengan satu penumpang itu mungkin telah sedikit dibumbui.
Mengutip Taiwan Apple Daily, The Straits Times mengatakan, siswi tersebut sebenarnya naik kereta dari Stasiun Kyu-Shirataki, bersama lebih dari 10 teman sekolah pada pukul 07.15, dan bahwa mereka punya tiga pilihan jadwal kereta untuk pulang ke rumah pada sore harinya.
Media Taiwan itu memastikan, Japan Railways akan menutup tiga stasiun yang kurang dimanfaatkan pada Maret tahun ini. Namun keputusan untuk melakukan penutupan bisa jadi tidak berhubungan dengan jadwal kelulusan siswi itu.
Walau tidak jelas seberapa jauh kisah kereta api dengan satu penumpang itu telah dibumbui di media sosial, kisah tersebut berhasil memunculkan berbagai tanggapan yang cukup ramai di akun Facebook CCTV China. Di China, perusahaan kereta api itu dipuji karena layanannya tersebut.
“Bagaimana saya tidak rela mati untuk negara seperti itu, saat pemerintah siap berjuang hanya demi saya,” kata seorang dalam posting-an di akun Facebook itu.
“Ini adalah arti dari tata kelola yang baik yang menembus tepat ke level akar rumput. Memenuhi setiap kebutuhan warga. Tidak ada anak yang tertinggal!”
Sedangkan yang lainnya berkomentar, orang-orang muda di Jepang dianggap sebagai “investasi jangka panjang” yang pada akhirnya akan membayar sistem itu ketika mereka tumbuh dan bergabung dengan angkatan kerja.
Kisah tentang penumpang tunggal itu sekaligus mengungkapkan krisis populasi yang dirasakan di seluruh pedesaan Jepang. Dalam beberapa tahun terakhir, Hokkaido, di Jepang utara, telah mengalami 20 layanan kereta api yang ditutup karena terjadinya penurunan yang cepat terhadap jumlah populasi di wilayah tersebut.
Sistem kereta api Jepang merasakan dampak dari rekor rendah angka kelahiran negara itu dan terancaman kehilangan sepertiga penduduknya pada 2060.
Berbeda namun sama dengan situasi di Indonesia. Memang benar bahwa populasi di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun, bahkan menurut PBB, diperkirakan tahun 2050, populasi penduduk Indonesia akan berada di atas angka 300 juta.
Namun sayangnya peningkatan populasi tersebut juga dibarengi dengan peningkatan urbanasi dari desa ke kota. Berdasarkan data yang ada, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia saat ini adalah sebesar 4,1 persen. Angka tersebut lebih tinggi daripada pertumbuhan urbanisasi di Tiongkok yang sebesar 3,8 persen dan India 3,1 persen.
“Indonesia sendiri mengharapkan ada 68 persen penduduk dari populasi yang akan tinggal di wilayah perkotaan pada 2025. Itu kurang dari 8 tahun dari sekarang,” kata Sri Mulyani saat membuka Seminar “Managing Urbanization for Sustainable Cities” di Hotel Shangri-La, Jakarta pada Selasa 19 Desember 2017.
Angka pertumbuhan urbanisasi yang relatif tinggi itu tidak diiringi dengan kemampuan tata kelola dan infrastruktur yang memadahi. Sri Mulyani menilai perkotaan di Indonesia malah terbebani dengan pembangunan infrastruktur yang tertinggal, kemacetan parah, serta rendahnya kualitas alat transportasi.
Belum lagi dari si pelaku urban tersebut kebanyakan adalah orang-orang yang kurang memiliki keahlian (unskill). Dorongan untuk mengikuti jejak teman-temannya yang dianggap telah “berhasil” tanpa mempertimbangkan kemampuan diri sendiri akhirnya ikut membebani perkotaan dengan munculnya berbagai perkampungan kumuh serta kesemrawutan.
Bila mengacu pada pernyataan Sri Mulyani bahwa ada sekitar 68 persen penduduk Indonesia yang tinggal diperkotaan. Berarti di desa hanya akan tersisa 32 persen. Padahal Indonesia sendiri masih merupakan negara agraris yang tingkat ketergantungannya terhadap produk pertanian masih cukup tinggi.
Jadi merupakan hal yang wajar walaupun sedikit terlambat dimana pembangunan berbagai bendungan atau waduk dan irigasi di berbagai pelosok tanah air digenjot habis-habisan di masa pemerintahan Jokowi yang seharusnya sudah dilakukan oleh pemerintah sejak dulu. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi di sektor pertanian, dengan demikian ketergantungan kita akan impor bisa ditekan serendah mungkin.
Kita tentu tidak ingin di masa depan, desa-desa di Indonesia hanya diisi oleh puluhan orang-orang yang sudah tua saja yang mengelola lahan pertanian, sedangkan anak-anak mudanya lebih suka bekerja dan tinggal di daerah perkotaan.
Jangan sampai kejadian di Jepang, yakni kereta api yang mengangkut satu orang penumpang setiap hari, juga terjadi di Indonesia, dimana setiap hari hanya ada satu kendaraan saja yang berangkat dari kota ke desa untuk mengambil hasil pertanian.
Itu sebabnya kisah di atas disebut kisah insipiratif, karena dengan membaca kisah tersebut, diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada kita mengenai bagaimana masa depan bangsa ini kelak.
Trailer Kisah Kereta Api Dengan Satu Penumpang
https://youtu.be/yQ2gJEiE7GQ