.:: Antara Rizal, Jalangkonte dan Kemiskinan yg Diperdagangkan ::.
Sudah 2hari ini,
Cerita ttg Rizal,
Bocah pedagang Jalangkote di daerah Pangkep, Sulawesi Selatan,
Sempat menghiasi banyak media.
Seorang bocah pemberani,
Yg berusaha mempertahankan harga dirinya.
Seorang penjual Jalangkote,
Kue khas Makassar,
Yg boleh dibilang merupakan jajanan khas di sana ..
Jalangkote itu sepintas mirip kue pastel,
Dimakan dg bumbu sambal pedas,
Dan biasa disajikan hangat2 sebagai teman minum teh ataupun kopi.
Dulu,
Sayapun sering membeli Jalangkote itu,
Dari seorang Ibu yg berkeliling dengan sepeda nya,
Harga satuannya seribu rupiah,
Dan itu cukup enak dan kenyang sebagai pengganjal perut.
Pertanyaannya,
Kenapa Rizal harus di”bully”?
Apakah karena dia hanya seorang anak miskin,
Yg dianggap layak utk di”bully”?
Atau mentalitas generasi sekarang emang sudah berubah menjadi brengsek?
Tidak mampu lagi menghargai orang lain yg mau berusaha,
Namun justru ingin menghancurkan mereka?
Tidakkah kita bisa melihat raut wajah Rizal yg polos,
Yg seakan tiada menyimpan dendam dan amarah sama sekali?
Keikhlasan yg terpancar di wajah nya,
Yg membuat kita menjadi semakin hormat kepadanya …
Mendadak,
Saya ingat sepotong lirik lagu “Sore Tugu Pancoran” nya Bang Iwan Fals …
” … Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu.
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu.
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu.
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal …”
Rizal,
Mungkin hanya satu di antara banyak anak di negeri ini,
Yg harus ikut berjuang demi menghidupi keluarga.
Masih banyak Rizal2 lain di luar sana,
Yg mungkin juga mendapat perlakuan yg sama dari masyarakat sekitar,
Namun tak sempat viral,
Hingga terlewat dari pandangan mata kita.
Mampukah kita utk menjaga mereka,
Atau hanya tergerak hati,
Saat sebuah berita sudah termuat di media saja?? …
Mungkin,
Sama pertanyaan saya dg situasi saat ini,
Di mana semua orang seakan berbondong2 saling memberi bantuan,
Kepada mereka yg terdampak COVID19.
Semua kepedulian yg (seharusnya) mampu menjembatani adanya perbedaan,
Antara si Kaya dan si Miskin.
Namun dalam kenyataannya,
Banyak yg terjadi justru sebaliknya.
Memberi kesan Superior kepada si Kaya,
Dan “mengorbankan” si Miskin,
Dg “mengeksploitasi” wajah2 mereka,
Dg alasan “utk laporan kepada para donatur”.
Jika memang sekedar utk keperluan dokumentasi,
Apakah tidak lebih baik jika tidak menampilkan wajah2 mereka??
Atau jika memang diperlukan,
Dokumentasi yg menampilkan wajah2 tersebut,
“Hanya” utk komsumsi intern saja,
Dan tidak dibuka utk publik?
Bisakah kita sejenak mencoba merasakan,
Bagaimana jika kita berada di sisi mereka?
Ketika wajah kita di foto,
Divideokan??
Lalu di share kepada publik??
Apakah ini bukan hanya sekedar Ego kita semata?
Utk menunjukkan,
Betapa kita saat ini masih berada di kondisi yg stabil,
Hingga masih bisa memberi bantuan bagi mereka yg ada di bawah kita? …
Atau justru keinginan utk mencoba mencari panggung?
Dengan menggelar baliho atau spanduk besar2,
Dg logo partai ato organisasi tertentu saja????
WTF!!! 😊😊😊😊😊