Indovoices.com-Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani berpolemik soal pencairan Dana Bagi Hasil (DBH). Selain pencairan DBH, kini muncul lagi polemik soal bantuan sosial bagi warga terdampak Covid-19 di DKI Jakarta.
Tempo merangkum jejak perdebatan dua pejabat negara ini. Berikut alur waktu polemik tersebut:
2 April 2020
Dalam rapat daring bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Anies menagih kepastian pencairan DBH dari Kementerian Keuangan kepada Pemprov DKI Jakarta. Dana tersebut rencananya akan dipakai untuk penanggulangan Covid-19.
“Kami butuh kepastian dana bagi hasil, ketika ratas kami sampaikan ada dana bagi hasil yang sesungguhnya perlu dieksekusi,” kata Anies, Kamis, 2 April 2020. Anies meminta agar pemerintah pusat segera mencairkan dana tersebut untuk menjaga arus kas Pemprov DKI.
Anies mengatakan, Kemenkeu memiliki piutang kepada Pemprov DKI sebesar Rp 6,4 triliun pada tagihan tahun 2019. Setelah ada beberapa penyesuaian, jumlahnya berubah menjadi Rp 5,1 triliun. Kemudian, untuk dana bagi hasil tahun 2020 di kuartal kedua sebesar Rp 2,4 triliun.
17 April 2020
Sri Mulyani mengatakan DBH belum bisa cair karena laporan keuangan pemerintah masih diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “DBH 2019 ini biasanya diaudit dulu oleh BPK, kemudian dibayarkan, biasanya April disampaikan ke DPR Juli. Jadi dibayarkan pada Agustus atau September,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita secara virtual, Jumat 17 April 2020.
“Pak Anies minta dibayarkan duluan. Biasanya nunggu audit BPK, jadi karena sekarang urgent dibayar duluan,” kata Sri Mulyani.
6 Mei 2020
Giliran Sri Mulyani yang menyinggung Anies yang disebutnya tidak memiliki anggaran untuk mendanai bantuan sosial sembako bagi 1,1 juta warganya. Kabar ihwal ketiadaan anggaran ini diketahuinya setelah mendapatkan laporan dari Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan.
“Yang tadinya cover 1,1 juta warga, mereka tidak ada anggaran dan minta pemerintah pusat untuk cover 1,1 juta. Jadi yang tadinya 1,1 juta DKI dan sisanya 3,6 juta pemerintah pusat, sekarang seluruhnya diminta di-cover pemerintah pusat,” kataSri Mulyani dalam rapat virtual dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 6 Mei 2020.
Komitmen bantuan sosial 1,1 juta warga DKI ini padahal sebelumnya disampaikan Anies dalam rapat bersama Ma’ruf Amin pada 2 April 2020.
7 Mei 2020
Anies pun tidak tinggal diam dengan pernyataan Sri Mulyani. Ia menegaskan Pemprov DKI juga telah menyediakan Rp 5,032 triliun dalam bentuk belanja tidak terdua. “Anggarannya bisa digunakan sewaktu-waktu dan apabila dibutuhkan jumlahnya juga dapat ditambah,” kata Anies dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 7 Mei 2020.
Pemprov DKI Jakarta pun, kata Anies, dalam proses pendataan untuk distribusi bansos tahap dua. Pendataan itu dengan mendapatkan usulan dan masukan unsur RT/RW. “Kami juga mendukung proses distribusi bansos dari Kemensos melalui tim Dinas Sosial dan Suku Dinas Sosial di masing-masing wilayah DKI Jakarta,” ujarnya.
8 Mei 2020
Sri Mulyani barulah mengumumkan kekurangan bayar DBH DKI Jakarta, seperti yang ditagih Anies, sudah dibayar setengahnya. Jumlahnya Rp 2,6 triliun dari total Rp 5,1 triliun. DBH ini akan yang digunakan oleh DKI untuk bantuan sosial 1,1 juta warga DKI Jakarta yang terimbas Covid-19.
“Untuk DKI Jakarta, dari Rp 5,16 triliun, kami sudah membayarkan seluruh DBH 2018 yang masih kurang waktu itu karena perhitungan dan 2019 sudah Rp 2,58 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Jumat petang, 8 Mei 2020. Sisa yang belum dibayarkan akan disalurkan setelah rampungnya audit BPK soal Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Meski demikian, kini serangan datang dari DPRD DKI Jakarta. Sebelumnya, DPRD DKI juga mendesak Sri Mulyani melunasi penuh DBH yang menjadi hak Pemprov DKI. Lalu pada 8 Mei 2020, Ketua Komisi A DPRD DKI Mujiyono pun menilai Sri Mulyani keliru dengan menyebut DKI tak punya anggaran bantuan sosial bagi 1,1 juta warga tersebut.
Sebab, DKI sudah menganggarkan Rp 10,2 triliun untuk penanganan Covid-19. Semestinya, kata Mujiyono, Sri Mulyani harus segera melunasi utangnya (DBH) agar DKI bisa cepat memberikan bantuan kepada warga terdampak. “Jadi salah kalau bilang DKI tidak punya anggaran,” ujarnya.
9 Mei 2020
Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, pun mengatakan polemik pembayaran DBH ini sebenarnya tidak perlu terjadi. “jika Pemprov DKI tidak terkesan seperti orang nagih utang jatuh tempo dan belum dibayar,” kata dia.
Sebab faktanya, meski ini hak Pemprov DKI, kata Prastowo, tapi aturan dan mekanismenya jelas. Sesuai UU, DBH cair setelah audit BPK selesai.
Prastowo pun mengkritik pernyataan sebagian anggota DPRD DKI yang menyebut Kemenkeu telah membayar DBH DKI. “Itu malah mendegradasi kebijakan Pemprov DKI yg mengalokasikan belanja tidak terduga sebesar 5T untuk penanganan Covid-19,” kata dia.(msn)