Kehebohan virus Corona terus berlanjut, usai Jokowi mengumumkan 2 WNI positif terkena virus dari Wuhan. Setelah sebelumnya riuh keraguan negara lain perihal kemampuan deteksi virus mematikan itu oleh pemerintah, kini beralih gempar perihal si korban. Yang terakhir korban positif virus Corona bertambah 2 orang lagi.
Kota Depok yang dikenal gudangnya para petinggi kelompok yang mengaku paling religius mendadak tersentak. Seakan tak mau kalah dengan Jokowi, Walikota Depok beserta jajarannya segera menggelar jumpa pers. Dari pengungkapan lokasi tempat tinggal korban, himbauan untuk lebih rajin berdoa hingga rencana meliburkan sekolah. Ditambah lagi pernyataan Sekda Depok bahwa virus Corona ciptaan Tuhan (selain Pelangi, dalam syair lagu anak anak). Bahkan masyarakat Depok dihimbau berhenti merokok, karena efek merokok bisa menurunkan kondisi tubuh dan mudah terkena virus Corona. Himbauan yang lebih mirip tulisan dan gambar di bungkus rokok. Sebagai perokok aktif, penulis wajib protes. Virus apapun namanya tidak mau tahu apa agama calon korbannya, jenis kelamin, status menikah atau jomblo. Seseorang terjangkit penyakit punya persyaratan yang komplek, tidak hanya satu atau dua faktor penyebabnya. Seorang kepala daerah seharusnya lebih bisa berbicara secara normatif, bukan hal-hal subtantif melebihi seorang dokter atau pakar kesehatan.
Ilmu cucoklogi para pemimpin dalam upaya menenangkan warga terkadang suka nggak cucok, jika tidak mau disebut berlebihan. Cenderung pada kepanikan yang terungkap dalam kata kata, sedangkan logika dan realitanya masih kurang nyambung. Masyarakat yang harusnya tenang akhirnya jadi tertular virus baru bernama kepanikan dan ketakutan. Depok memang beda. Ketakutan para petingginya melebihi warga kota Wuhan sendiri, tempat pertama kali virus itu muncul.
Korban positif Corona yang kebetulan warga Depok bermula dari acara dansa hari Valentine di sebuah klub malam daerah Kemang Jakarta Selatan. Seorang warga impor dari Jepang yang sudah tertular virus namun masih bisa berdansa, menularkannya secara tidak sengaja. Kita tunggu apakah perayaan pesta Valentine semakin diharamkan gegara virus Corona. Atau penolakan warga impor yang tidak se-Iman ampuh untuk menangkal virus di kota (setengah) Bersyari’ah tersebut.
Virus Corona memang mematikan dan sudah menelan banyak jiwa di berbagai negara. Namun kita lupa, bahwa penyakit mematikan nomer satu di dunia bukan Corona, atau virus HIV, tetapi Penyakit Jantung Koroner. Laporan dari Centers for Disease Control and Prevention mengatakan bahwa setiap tahun, ia membunuh setidaknya 370 ribu orang. Menurut WHO hingga 2015 penyakit jantung koroner telah mematikan 8,8 juta orang di seluruh dunia. Di urutan kedua penyakit Stroke. Hingga 2015 telah membunuh 6,2 juta.
Stroke atau darah tinggi dalam istilah awam, terkait dengan fungsi jantung juga. Jangan sampai kabar virus Corona yang mengejutkan lantas membuat orang mendadak stroke dan meninggal dunia. Ironis bukan?
Kesimpulan sementara tulisan ini : Lebih waspadalah untuk urusan kebersihan diri sendiri dan lingkungan sekitar. Kepanikan di media secukupnya saja. Jika berlebihan yang terjadi adalah perubahan perilaku keseharian yang tidak lazim. Seperti penumpang KRL yang membungkus tangannya dengan plastik saat berpegangan di handle penumpang. Mendadak posesif saat bertemu seseorang bermata sipit. Atau kepo dengan berita pasien meninggal di RS yang diduga korban virus Corona, padahal karena TBC, ISPA atau jantungan.
Dalam bahasa religinya, Tuhan menurunkan penyakit sekaligus obatnya. Manusia diberi tugas mengungkap penyebab demi menemukan obat penyembuhnya. Optimis dan berpikir positif menjadi obat mujarab bagi psikologis yang sedang panik. Entah panik dikejar debt collector atau galau ditinggal nikah mantan terindah. Virus Corona yang berasal dari Wuhan Tiongkok membuat khawatir sebagian penduduk di muka bumi, tidak terkecuali Indonesia. Peranan media online dengan berbagai versi jurnalisnya, postingan medsos tanpa data akurat, hingga pesan berantai di WA, turut menyumbang tensi kekhawatiran. Alih alih ingin menyampaikan kabar, beberapa media memanfaatkan Thema/judul sensitif demi mengejar ratting tayangan dan jumlah viewer. Jika boleh diibaratkan, virus Corona tersebar satu paket bersama virus ketakutan.
Mari kita lawan virus ketakutan itu dengan mempercayakan penanganannya pada ahli kesehatan, bukan para ahli tulis menulis berita yang tidak takut memberitakan kabar ketakutan. Indonesia tanggap Corona, bukan Indonesia yang gagap Corona.
Semoga paham