Indovoices.com-Direktur Kedaruratan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, beberapa negara “buta” dalam melacak kontak pasien virus corona.
Dr Michael Ryan berujar, sejumlah negara belum secara efektif “memanfaatkan penelusuran kontak dan memasukkannya ke karantina”, untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Ia menolak menyebut nama negara tersebut, tetapi mencontohkan Jerman dan Korea Selatan bisa dijadikan patokan bagaimana mendeteksi dan menghentikan kluster virus corona sebelum keluar kendali.
“Memejamkan mata dan coba melewati ini secara buta adalah persamaan konyol yang pernah kulihat,” ucapnya dikutip dari Associated Press (AP).
“Dan saya benar-benar khawatir negara-negara tertentu sedang mempersiapkan diri untuk melewati ini secara buta dalam beberapa bulan ke depan.”
Bahkan di Jerman pun, masih muncul kluster baru pasien Covid-19 dalam beberapa hari terakhir. Kluster baru ini dikaitkan dengan 3 rumah jagal.
Begitu pun dengan Wuhan dan di Korea Selatan yang mencatatkan 85 kasus baru setelah kelab malam kembali dibuka.
Apple, Google, beberapa negara bagian AS, dan negara-negara Eropa sedang mengembangkan aplikasi pelacakan kontak, yang menunjukkan apakah seseorang berada di lingkup orang yang terinfeksi.
Namun para ahli menekankan, teknologi ini hanya melengkapi, tidak menggantikan tugas manusia sepenuhnya.
Lebih dari 10.000 orang terlibat dalam pelacakan kontak di Jerman, negara yang berpenduduk 83 juta jiwa.
Inggris yang sempat meninggalkan pelacakan kontak pada awal Maret, sekarang sedang merekrut 18.000 orang.
Menteri Kesehatan Perancis menjanjikan pelacakan kontak yang lebih gencar, dan setiap minggunya akan ada 700.000 orang yang diuji.
Namun pada Senin (12/5/2020), pengadilan tertinggi Perancis memerintahkan para petinggi negaranya untuk berhati-hati dalam melindungi hak privasi rakyatnya, yang menimbulkan keraguan tentang bagaimana usulan Menkes dilanjutkan.
Hingga Selasa (12/5/2020) siang WIB, virus corona telah mencapai lebih dari 4,1 juta kasus di seluruh dunia, dengan lebih dari 285.000 korban meninggal di seluruh dunia.
Jumlah korban meninggal di antaranya lebih dari 150.000 di Eropa dan 80.000 di AS, menurut penghitungan dari Universitas Johns Hopkins. Namun para ahli percaya, mungkin angka sebenarnya lebih besar.(msn)