Di suatu Wilayah ada seorang Pastur yang bersahaja. Dalam kepercayaan Kristiani, seorang Pastur dilarang menikah. Hingga suatu waktu, muncul isu dari seorang umat yang menceritakan bahwa sang Pastur sudah menikah, awalnya itu menjadi isu hangat dan dibicarakan dari mulut ke mulut. Akhirnya isu itu sampai juga ke ibu ibu yang mempercayai bahwa sang Pastor tetap setia sama sumpahnya. Serangan Hoax dari tiap orang yang diucapkan di depan sang ibu yang percaya sumpah si Pastor, akhirnya membuat sang ibu menjadi gamang dan akhirnya berubah posisi menjadi percaya dengan isu bahwa sang pastor sudah menikah. Itulah LOGICAL FALLACY.
Ada beberapa LOGICAL FALLACY dalam masyarakat khususnya di Indonesia.
1. APPEAL TO BELIEF
Appeal to belief merupakan logical fallacy dimana argumen untuk mendukung atau menolak sesuatu didasarkan pada kepercayaan personalnya, yang mana tentu saja hal ini akan menjadi sangat subjektif. Kepercayaan di sini bisa berupa kepercayaan terhadap suatu hal tanpa syarat, maupun doktrin agama. Tipe logical fallacy ini adalah yang paling sensitif karena seringkali menyangkut-pautkan isu SARA. Sejatinya, apabila seseorang menggunakan kepercayaan sebagai basis argumennya, maka suatu perdebatan tidak akan bisa disebut perdebatan, melainkan pemaksaan ideologi.
Contohnya :
A : LGBT memiliki Hak untuk dilicdungi Negara
B : Negara harus memusnahkan LGBT karena itu salah dan tidak sesuai agama apapun.
2. ARGUMENT FROM ADVERSE CONSEQUENCE
Merupakan logical fallacy dimana seseorang merasa bahwa dirinya harus benar dalam perdebatan karena apabila ia tidak benar, maka hal-hal (yang ia percaya) tidak baik akan menjadi konsekwensinya. Oleh karena itu, lawan debat harus berada di posisi salah menurut standar yang dia pakai. Padahal, terkadang standar ini sangatlah relatif kebenarannya dan tidak dapat digeneralisasikan. Misalnya ;
A : si X bukan Penista Agama karena dia hanya mengingatkan agar jangan melakukan itu karena tidak sesuai dengan ayat Y pada Kitab Suci Z
B : Keluarga Penista Agama harus mati
3. BANDWAGON FALLACY
Bandwagon fallacy adalah ketika seseorang mendasarkan argumen pada arus mayoritas pendapat yang ada. Jenis ini seringkali dijumpai di masyarakat Indonesia karena terkadang suatu fenomena telah mendapatkan label kebenaran tersendiri yang diterima secara luas meskipun kebenaran tersebut belum dikonfirmasi validitasnya. Dalam hal ini, media juga seringkali berperan penting untuk membentuk opini publik sehingga masyarakat menggunakan logical fallacy untuk menganalisa peristiwa. Contohnya ;
A : A itu laki laki setia, tidak mungkin selingkuh pada kamu
B : Satu Restoran menjadi saksi bahwa si A sedang bersama si Perempuan
4. GENETIC FALLACY
Genetic Fallacy terjadi apabila seseorang mendasarkan argumen mereka pada asal usul dari hal yang diperdebatkan. Sekali lagi, titik kesalahan dari cara berfikir ini adalah mengambil generalisasi dari satu hal dan menggunakannya untuk menganalisa hal yang lain dimana seringkali tidak relevan atau berkorelasi. Masyarakat Indonesia masih sering menggunakan fallacy ini untuk memberi justifikasi terhadap suatu hal. Contoh ;
A : “Mengapa orang-orang asing patut dibenci?”
B : “Karena mereka adalah antek negara-negara Barat yang melakukan diskriminasi kepada kaum kita”.
Padahal, apabila pun negara-negara Barat benar-benar melakukan diskriminasi yang dimaksud, dimensi politik-pemerintahan dan dimensi sosial adalah hal yang sangat berbeda. Belum tentu orang yang dimaksud juga setuju dengan kebijakan yang diinisiasi pemerintahnya.
5. AD HOMINEM
Orang yang menggunakan logical fallacy Ad Hominem akan menyerang individu daripada argumen yang seharusnya diperdebatkan. Dalam masyarakat yang komunal seperti masyarakat Indonesia, judge, stereotype serta stigma terhadap seseorang masih sangat kuat, Pada keadaan yang seperti ini, seringkali poin dari suatu perdebatan tidak berakar pada argumen yang empiris melainkan lebih pada serangan terhadap individu tertentu. Misalkan :
A : “Mengapa anda tidak memperbolehkan orang cacat bekerja di kantor ini? bukankah mereka juga memiliki hak yang sama?”
B : “Karena orang cacat tidak Produktif dan saya tidak mau ada karyawan semacam itu”.
Dapat dilihat bahwa alih-alih menggunakan alasan yang logis (misal karena alasan peraturan kejelasan identitas), seseorang masih menggunakan justifikasi berbasis stigma terhadap individu yang sangat diskriminatif.
6. RED HERRING FALLACY
Red Herring fallacy adalah mengalihkan topik pembahasan dengan topik yg sesungguhnya tidak terkait dengan yang sedang dibahas. Biasanya red herring keluar dari pihak yang sedang terdesak lantas mengeluarkan opini yg seolah menarik kuat utk dibahas
Contoh:
A : dibutuhkan pengetahuan ttg sejarah kodifikasi Al Quran untuk bisa paham historiografi Al Quran
B: Apakah injil itu tidak berubah?
Begitulah, dan paling sial itu jika ketemu jenis orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu
Ada dua modus yang dapat digunakan meruntuhkan argumentasi lawan, yakni menggunakan Argumentum Ad Rem dan Argumentum Ad Hominem. Argumentum Ad Rem yang dimaksud ialah upaya menunjukkan argumen lawan tidak sesuai dengan halnya yang diperdebatkan. Sedangkan, Argumentum Ad Hominem, merujuk pada cara menunjukkan argumen lawan tidak cocok dengan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan peryataan atau diri si pembicara. Modus-modus ini tidak mempersoalkan kebenaran objektif atau hal yang diperdebatkan. Berikut akan diuraikan contoh-contoh penggunaan dua modus tersebut.
Argumentum Ad Rem
Dalam sebuah pembicaraan, seorang manager sebuah kelompok musik (band) meminta agar para anggota band menjaga stamina dan kesehatan dengan tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol. Kemudian seorang anggota mencoba meruntuhkan argumentasi pelatih tersebut dengan mengatakan: “Dari dulu yang namanya anak band, apalagi band rock seperti kita itu identik dengan maskulintas. Tidak ada rocker yang tidak merokok dan tidak minum alkohol. Itu ciri khas band rock”. Dalam contoh di atas, tampak bahwa isi argumentasi anggota band tidak relevan dengan hal yang dibicarakan pelatih, yakni tentang kesehatan.
Argumentum Ad Hominem
Dalam artikel tersebut Romo Franz Magnis-suseno mengatakan bahwa LGBT adalah kelompok yang harus dihormati. Artikel tersebut lantas mendapat komentar-komentar dari pembacanya. Salah satu komentar menunjukkan Argumentum Ad Hominem berikut:
“Franz koplak! lu pemuka agama tapi koplaknya klewat. Kalo lu hormati, mereka akan merasa bebas untuk mempengaruhi bangsa ini. Jangan-jangan lu salah satu dari mereka. Jangan sampe anak cucu kita jadi korban mereka. Lu ga liat kasus sodomi makin marak, emang menurutlu pelakunya siapa kalo bukan yang memang suka lobang tai, kampret lu ah”
Dalam komentar tersebut jelas sekali tampak bahwa tidak ada argumen bantahan yang persis berhubungan dengan pernyataan Romo Magnis. Pemberi komentar hanya mengajukan serangan langsung terhadap Romo Magnis berupa umpatan-umpatan dan dan kata-kata yang mendeskreditkan. Di sini jelas pula bahwa pemberi komentar sama sekali tidak mempunyai konsern pada dimensi etis dan kebenaran objektif atau hal yang diperdebatkan. Ia hanya fokus untuk membantah orang lain dan memenangkan pendapatnya.
Tu quoque (anda juga begitu) adalah counter Argument mematahkan Logical Fallacy dengan melihat bahwa pihak oposisi juga melakukan hal yang dipergunakan untuk menuduh pihak kita. Misalnya, dalam sebuah percakapan Seorang calon presiden diserang dengan tuduhan Korupsi oleh pihak oposisi, kemudian kita melawan argument itu dengan statement “Ya memang Korupsi di negara kita sudah stdium 4, tetapi Partai anda juga mengizinkan Calon wakil rakyat dari bekas narapidana kasus Koruptor kan? Benar apa benar?”
Jadi jika dibilang Kanker Stadium 4 adalah penyakit berbahaya, maka Logical Fallacy adalah penyakit paling mematikan karena merupakan cikal bakal sejarahnya apa yang disebut Hate Speech.