Indovoices.com-Di era digital ini ada kegiatan publik yang saling menyambungkun yang disebut viral. Viral itu biasa terjadi secara alami dan disengaja. Viral itu bisa dahsyat jika apa yang terjadi (diviralkan) mewakili perasaan banyak orang.
Mengapa terjadi viral?. Bagaimana memviralkan perasaan kita?. Apa motivasi viral?. Bagaimana mengatasi viral?. Bagaimana memanfaatkan viral agar ada faedahnya?. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Jika kita lihat viral yang paling banyak terjadi adalah kasus hukum, politik dan kekuasaan, bencana, suara konsumen, ketidakadilan, kekerasan dan lain sebagainya. Dalam pengamatan saya, viral itu menunjukkan mewakili perasaan publik atau viral yang disengaja untuk kepentingan tertentu. Biasanya viral yang meledak adalah alamiah yang mewakili perasaan publik.
Ketika waktu berjalan, kita ingat apa saja yang pernah diviralkan, bagimana kebenarannya?. Dulu, George Junus Aditjondro menulis buku Gurita Cikeas dan Cikeas makin Menggurita. Jika kita ingat buku itu, bagaimana kebenarannya hari ini?. Coba kita ingat-ingat apa apa saja yang pernah viral?.
Saya pernah viralkan kasus hukum Ompung Saulina. Bagaimana kita melihat apa yang terjadi hari ini. Malu kah kita mengingat peristiwa itu. Kini muncul lagi viral kakek Sumirin, nanti akan kita nilai lagi. Pernah juga viral kasus Sigapiton. Dunia mengetahuinya. Bagaimana kita melihat Sigapiton hari ini?.
Viral itu disengaja atau tidak, viral itu bergerak jika mewakili perasaan kita. Perasaan kita bisa konyol juga. Kekonyolan itu bisa kita lihat setelah waktu mengujinya.
Sebelum kita mengenal viral, sebetulnya ada yang disebut Surat Pembaca. Jika saya amati di surat kabar konvensional, surat pembaca itu lebih banyak suara konsumen, kemudian masalah hukum, politik dan sosial.
Dulu, saya rajin menulis di kolom opini dan surat pembaca. Biasanya, surat pembaca itu lebih efektif bereaksi. Reaksi ketika kita tulis di surat pembaca cukup cepat. Nah, hebatnya surat pembaca, yang merespon adalah yang kita tuju. Surat pembaca kita dibalas oleh yang kita tuju. Kalau viral di era digital, yang merespon banyak sekali. Beragam yang merespon. Respon publik dari berbagai kalangan menjadi tekanan publik ke yang dituju.
Melihat saya rajin menulis di surat pembaca, dan langsung dijawab, istri saya ikut-ikutan. Suatu ketika, istri saya membeli sofa. Tidak lama sofa itu robek. Istri saya protes. Kualitas sofa tidak sesuai perjanjian. Pedagang sofa arogan. Istri saya kesal. Kemudian kejadian itu ditulis di surat pembaca Kompas. Pagi terbit di Kompas, pihak pedagang sofa menjumpai istri saya ke kantor.
Pemilik sofa itu mengataan apapun permintaan istri saya menyoal sofa akan dipenuhi. Tujuannya agar di jawaban mereka di surat pembaca bahwa persoalan sofa sudah diselesaikan. Istri saya jadi senang memanfaatkan rubrik suara pembaca untuk keadilan. Kami termasuk giat mendorong orang menulis di surat pembaca untuk tujuan berbagi cerita dan merubuhkan arogansi.
Pengalaman saya dengan surat pembaca cukup banyak. Mulai jalan rusak, sepeda motor yang produk gagal, ketidakadilan dan lain sebagainya.
Bagaimana sikap kita di era digital?. Viral bisa kita optimalkan untuk berjuang. Tentu saja, harus hati-hati. Harus seselektif mungkin. Pikirkan dampak jika akan diviralkan. Viral itu sangat dahsyat. Harus memikirkan dampaknya secara cermat dan mendalam.
Coba kita analisa, bagaimana dampak viral 2 ekor ayam pinadar di Sidikalang itu. Bagaimana persepsi kita dengan rumah makan di Sidikalang?.
Di era digital ini, semua kita menyadari bahwa kita diawasi. Diawasi kamera kamera canggih. Kita diawasi tanap mengenal ruang dan waktu. Satu-satunya jalan bagi kita adalah berperilaku baik setiap saat. Giliran kita akan diviralkan siapa saja jika kita sombong, arogan, menipu. Dan, perbuatan baik kita bisa saja akan diviralkan orang. Jadi, teruslah berbuat baik. Dengan berbuat baik, kapan saja dan dimana saja kita nyaman. Tidak ada pilihan lain.
#gurmanpunyacerita