Al Maghfurlah Gus Dur pernah melontarkan joke segar tentang toa Masjid, kata beliau “kami (umat Muslim) itu yang paling jauh dari Tuhan, masak memanggil Tuhan harus pakai toa segala”.
Dan sekarang delapan tahun sudah Gus Dur meninggalkan kita semua. Kini kami harus menghadapi tindakan intoleran di negeri ini tanpa Sang Guru Bangsa tercinta.
Belum usai kontroversi kasus Ahok yang “dipaksa” masuk bui, kini kasus penistaan agama kembali dialami oleh ibu Meliana, warga Tanjung Balai Sumatera Utara yang kebetulan ber etnis minoritas di negeri ini.
Kasus yang bermula dari obrolan ringan Ibu Meliana dengan pemilik warung tempat dia belanja. Kata Ibu Meliana “suara adzan sekarang kok sangat keras sekali ya”.
Lantas omongan ini begitu cepat menyebar dan begitu sampai di telinga masyarakat, keluhan dari Ibu Meliana berubah menjadi “ada orang China melarang adzan”.
Edan bukan, kalimat pertama dari Ibu Meliana dan yang diterima masyarakat sangat jauh bedanya? Walhasil, puluhan vihara dan rumah dari Ibu Meliana sendiri dibakar oleh generasi micin negeri ini.
Belum puas, sang Hakim justru memvonis Ibu Meliana 18 bulan penjara dengan dakwaan sebagai penista agama. Padahal bukti rekaman vidio percakapan terdakwa dan pemilik warung tidak ada.
Sedangkan massa yang membakar rumah terdakwa dan puluhan vihara umat Budha justru divonis satu bulan saja. Whats Wrong dengan sang hakim? Apakah kerasukan fifis unta juga?
Memang fungsi toa Masjid telah banyak berubah pada masa sekarang. Kalau dulu cukup untuk menyerukan adzan dan pengumuman warga yang meninggal dunia.
Namun sekarang, malah ada toa Masjid yang difungsikan untuk mencari sumbangan, pengumuman yang bersifat politis dan segala perkataan yang bisa menimbulkan kontroversi.
Suka tidak suka, inilah kondisi Indonesia kita. Jiwa toleransi dan jiwa pemaaf khas NUsantara telah bergeser kepada budaya anarkhis dan gampang tersulut amarah kebencian.
Agama dijadikan tameng untuk perilaku biadab dari makhluk yang bernama manusia.
Apakah kita dirugikan jika Sang Tuhan itu dicaci dan dihina? Tidak, karena seberapa besar cacian dan hinaan itu, Sang Tuhan tidak akan berkurang sedikitpun sifat ke AgunganNya.
Jiwa yang besar untuk memaafkan lebih mulia di hadapan Tuhan, daripada jiwa kerdil yang berisi nafsu amarah dan kebencian meskipun hal itu mengatasnamakanNya.
Hapuskan saja pasal penistaan dan sertifikasi segera para penceramah, agar benih benih anarkis dan intoleran di NKRI segera dapat dimusnahkan.
Ibu Meliana, percaya dan yakinlah bahwa Gusti Mboten Sare.
Salam Jemblem..