Tragis nian nasibmu kawan…
Dwi Setiawan, pelukis jalanan Taman Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat, tewas dililit dan dipatuk ular peliharaannya, sahabat pelipur lara sang majikan.
Pelukis Dwi mungkin lupa bahwa yang namanya ular tetaplah ular, binatang reptil paling licik yang membujuk manusia hingga jatuh ke dalam dosa. Dia akan nurut manakala kenyang, tetapi dia akan memakan apa saja yang ada dihadapannya tatkala lapar, tak terkecuali majikannya. Begitulah naluri binatang…
Apakah ular mengerti Dwi Setiawan hidupnya susah? Apakah ular mengerti sang majikan menderita dalam himpitan ekonomi? Apakah sang Ular punya empati dan merasakan apa yang dirasakan pelukis Dwi? Jelas tidak! Yang ia tahu hanyalah rasa laparnya harus terpuaskan saat itu juga…
Bukan sekali dua kali kita mendengar kisah binatang durhaka semacam ini. Anjing mencabik-cabik anak majikannya hingga tewas terjadi di Malang Jawa Timur tahun lalu. Adik Sasa yang masih berumur delapan tahun meregang nyawa digigit anjing pitbull peliharaannya. Mengapa? Si Anjing lapar…
Pernah kawan berseloroh membicarakan anjing piaraannya. “Anjingku beda dengan anjing lain, bro! Dia nurut sama majikan“. Aku hanya tersenyum. ” Nurut karena kau kasih makan, kawan! Coba seminggu anjingmu jangan kau kasih makan, jika bukan kepalamu yang dicabik-cabik sebagai ganti makanannya”. Kawanku terdiam!
Binatang dikodratkan berbeda dengan manusia yang memiliki akal, pikiran dan perasaan, meski banyak manusia sekarang seperti binatang.
Binatang lapar di tahun politik
Manusia sama saja dengan binatang
Selalu perlu makan
Namun caranya berbeda
Dalam memperoleh makanan
Binatang tak mempunyai akal dan pikiran
Segala cara halalkan demi perut kenyang
Binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan
Padahal disekitarnya petani berjalan pincang
Namun kadang kala ada manusia
Seperti binatang (kok bisa?)
Bahkan lebih keji
Dari binatang macan
Tampar kiri kanan alasan untuk makan
Padahal semua tahu dia serba kecukupan
Intip kiri kanan lalu curi jatah orang
Peduli sahabat kental kurus kering kelaparan
Aku kaget bukam kepalang membaca surat bang Iwan yang ditulis 36 tahun silam, ketika aku baru saja dilahirkan…
Rupanya sudah sejak lama tabiat binatang peliharaan yang rakus dan tega memangsa tuannya seperti ular yang melilit pelukis Dwi dan anjing yang menggigit adik Sasa seperti ini. Aku pikir baru-baru ini saja…
Mereka tidak berubah dan justru semakin sadis meskipun sudah banyak binatang yang dikarantina…Maklumlah, binatang mana kenal taubat sedangkan mereka tidak beragama!
Mereka jinak dikala kenyang, tetapi liar dan buas tatkala perut lapar, itulah binatang!
Dan di tahun politik musim pemilu seperti inilah biasanya banyak “binatang” yang kelaparan dan tega memangsa tuannya. Sang tuan akan dililit, dicabik-cabik dan digerogoti sampai ke tulang-tulang hingga tewas mengenaskan…
Saudara-saudara kita di Asmat misalnya, harus meregang nyawa akibat kelaparan karena jatah makannya dimakan “binatang” yang rakus, tamak, dan tak punya otak…
Aku juga mendengar di Jambi dan Jombang, juga tak kalah tragis. Mereka mengalami nasib serupa meski tak sama. Mereka kehilangan santapan di meja makan karena diduga dimakan “binatang” peliharaannya yang haus dan lapar…
Banyak “binatang” tak kenal belas kasihan di negeri ini. Adakalanya kita harus mengalah tak berdaya dan berbagi makanan dengan “binatang” itu. Dan namanya binatang tetaplah binatang. Dia akan memangsa sang tuan ketika makanan habis saat lapar melanda…
Awas! Tahun politik banyak “binatang” lapar. Hati-hati memilih “binatang piaraan”, atau kau akan mampus diterkamnya!
Malang benar nasib kawanku pelukis Dwi dan nasib kita semua yang seharusnya menjadi tuan atas “binatang”…
Selamat jalan kawan senasibku, Dwi Setiawan!!