Hati-hati memilih guru spiritual. Itu teman saya yang bilang, waktu kita bertemu seorang kawan dan dia sedang berguru agama pada seseorang. Sambil berseloroh saya bilang, “Kenapa kamu harus cari guru spiritual? Logika kamu emang udah ga jalan? Belajar mah mengaji, kalau mengkaji bisa membandingkan beberapa referensi untuk masalah yang sama.”
Teman saya itu begitu membanggakan guru spiritualnya itu, yang kebetulan sore itu akan datang ke rumahnya. Dan tak lama kemudian, kita bertiga akhirnya bisa bertemu dengan sang guru spiritual dia. Apa yang dibahas? Tema yang sangat sederhana, yaitu tentang “do’a”. Apa dan bagaimana do’a yang bisa dikabulkan Allah dan lain sebagainya.
Entah kenapa, saya merasa kurang sreg dengan pemaparan dia tentang apa dan bagaimana sebuah do’a dipanjatkan. Siapa yang bisa tahu do’a manusia akan dikabulkan Tuhan. Sementara saya percaya, Tuhan memiliki caraNya sendiri untuk menjawab setiap do’a. Dan orang itu memanggil dirinya seorang ustad?
Ada banyak ustad atau ulama kondang di Indonesia sekarang ini. Tapi, ulama yang benar-benar ulama bisa dihitung dengan jari tangan.
Sering saya berpikir bahwa pemahaman akan kitab seperti Al Quran itu benar-benar tergantung dari seberapa jauh dan dalam logika dan nalar orang yang membaca dan mengkajinya.
Ujaran seorang ulama tentang satu hukum Islam yang di ditulis dalam Al Quran, otomatis, itu adalah logika dia yang bicara. Dan kita yang mendengar, wajib mencerna dan mencari pendapat-pendapat dari berbagai macam ulama lain. Jika pemahaman si ulama pertama ternyata sama dengan pemahaman 10 ulama lainnya, dipatut dipertimbangkan untuk kita yakini. Namun, tetap kita juga harus mampu berpendapat. Jangan pernah menelan omongan hanya satu ulama, kecuali memang logika kita langsung menerimanya.
Seperti misalnya pemahaman tentang apa siapa dan bagaimana kita bisa masuk surga. Dan apa yang terjadi di Pilkada Jakarta adalah satu contoh nyata dimana banyak mesjid-mesjid disusupi Ulama-ulama yang mempunyai agenda untuk memenangkan Paslon nomor tiga. Lalu masyarakat dengan telak menelan dan meyakininya bahwa dengan memilih pemimpin yang satu agama, akan menjadikan mereka seorang ahli surga. Sampai–sampai mereka meyakini untuk tidak memandikan jenazah pendukung paslon lain yang jelas-jelas satu agama. Seharusnya, orang bodoh sekalipun, bisa tahu bahwa memilih pemimpin yang seagama bukanlah satu-satunya cara untuk masuk surga.
Sementara ayat lain di dalam Al Quran juga menyatakan bahwa sebaik-baiknya seorang pemimpin adalah pemimpin yang adil. Dan diayat tersebut tidak menyebutkan agama dan keyakinannya apa. Disini logika kita benar-benar diuji. Apa mungkin ada dua ayat yang bertentengan dalam Al Quran? Tentu saja tidak mungkin! Bukan ayat-ayat Al Quran itu yang bertentangan tetapi, akal mereka yang gagal paham.
Mari kita telaah ke delapan foto orang-orang yang mengaku Ulama. Sebagian dari mereka malah sampai memiliki hashtag #BelaUlama. Dari ke delapan ulama pada foto diatas, masing-masing memiliki satu hal yang membuat mereka begitu gampang dikenal. Rata-rata isi ceramah mereka standar saja dan bahkan terkesan dangkal. Yang harus diakui, cara mereka mengemas acara sangatlah sempurna. Memadukan adantara penampilan, cara bicara dan isi cerita, harus sangat bisa menjual. Seberapa dalam dan tajam nalar mereka? Itu bukan yang utama.
Namun, dari delapan ada beberapa yang berpenampilan sama dengan orang kebanyakan. Tidak memakai sorban kepala, berbaju batik, tua dan bijaksana, mereka penganut Islam Nusantara. Bukan Islam Arab sana.
Misalnya, Aa Gym, dia lebih terkenal setelah memiliki istri muda. Quraish Shihab, dikenal sebagai Ulama senior dengan Tafsir Mishbahnya. Lalu ulama yang super ganteng, mulai dikenal lagi sejak dia dengan ke-over-pe-de-annya mengatakan Rina Nose jelek. Kalau yang nomor empat ini, jujur saja, saya ragu kalau dia seorang ulama. Saya cuma ingat satu hal, apa yang membuat dia terkenal itu cuitan-cuitannya di twitter yang lucu dan menggemaskan.
Sementara untuk baris yang dibawah, ulama yang ini, saya ingat, dia mengatakan bahwa kemajuan sebuah bangsa di ukur dengan seberapa tingginya bangsa itu beretika. Dan saya setuju tanpa harus mencerna lagi. Foto disamping dia, adalah ulama yang terkenal karena dia cukup bangga memiliki tiga istri yang tinggal dalam satu rumah. Entah pesan apa yang ingin dia coba sampaikan. Yang pasti, saya sebagai wanita, merasa dilecehkan dengan foto-foto dia bersama ketiga bidadarinya yang begitu viral. Selanjutkan, seorang ulama senior juga yang sangat-sangat nasionalis, yang selalu disudutkan oleh ulama-ulama muda yang tidak tahu diri. Dan yang terakhir ini yang paling kocak. Bagaimana saya tidak akan bilang kocak, setengah dari hidupnya, dia bukan seorang Muslim, terkenal karena dia seorang mualaf dari etnis tionghoa yang untuk mencari selamat, dia ikut-ikutan mendukung khilafah.
Nah, kedelapan tokoh agama ini, masing-masing mengaku sebagai ulama. Tapi saya mempunyai satu pemikiran sendiri tentang seorang ulama. Untuk saya, ciri-ciri seorang ulama adalah mereka yang tidak memanfaatkan satu dalil untuk kesenangannya. Dalam hukum Islam, memang seorang laki-laki diijinkan untuk memiliki istri sampai empat, tetapi, mereka tidak menggunakan dalil ini untuk memiliki istri lebih dari satu. Karena tidak ada seorang manusiapun yang mampu menyamai keadilan dan kerendahan hati Rosulullah ketika beliau menikahi para istrinya. Apalagi mensatu rumahkan semua istrinya. Waduh, jujur saja, nurani saya susah untuk menerimanya.
K e s i m p u l a n
Sejak wafatnya Rosulullah dan para sahabatnya, para ulama jaman sekarang, mengkaji isi kandungan Al Quran dengan keterbatasan logika dan nalar mereka. Ulama yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang damai sesuai dengan arti dari kata Islam itu sendiri, akan selalu menampilkan Islam sebagai agama yang damai bago pemeluknya maupun orang-orang disekitarnya.
Bukan seorang ulama yang masih disibukkan dengan urusan dunia, apalagi kalau sudah ikut campru urusan politik dan negara. Apalagi ikut sibuk di ajang-ajang seperti Pilkada. Mau ceramah apa mau kampanye?