Indovoices.com-Tahun 2014 saya dan bang Martin Manurung, seorang sopir dan among Saut Manurung dalam perjalanan dari Muara ke Balige. Ketika itu kami bercakapcakap penuh kehangatan. Di Sebuah tikungan tajam sopir itu memaksakan laju cepat di tikungan dengan melewati kendaraan lain. Saya ingatkan sopir itu agar pastikan 100 % mobil tidak ada dari depan baru bisa melewati kedaraan lain. Menyetir itu prinsipnya nol kesalahan.
Bang Martin Manurung langsung mendukung ucapanku. Kemudia n Martin Manurung yang kini salah satu pimpinan Komisi VI DPR mengatakan, “tikungan itu pernah saya analogikan soal ada tidaknya Tuhan kepada teman saya yang Ateis”.
Berasumsi laju cepat dan melewati kendaraan di tingkungan itu 50 % dan 50 %. Kemungkinan ada mobil dari depan 50 % dan kemungkinan tidak ada 50 %. Jika ada mobil dari depan dengan kecepatan tinggi juga maka tabrakanlah kita. Resikonya teramat besar. Jika tidak ada mobil maka kita aman.
Ada tidaknya Tuhan, bisa juga 50 % ada dan 50 % tidak ada. Jika Tuhan ada, kita beruntung. Jika tak ada, tak ada ruginya kita. Jadi, orang yang percaya Tuhan ada lebih untung daripada orang yang tidak percaya ada Tuhan. Tidak ada ruginya bahwa kita percaya Tuhan. Argumentasi ini saya gunakan ke teman teman Ateis.
Secara khusus, bang Martin Manurung bercerita tentang pengalaman rohani sebagai pengikut Tuhan Yesus.
Dalam setiap perjalanan di daerah pemilihannya, kaminsering berbincang tentang banyak hal. Salah satunya, saya ceritakan pernah guru marah marah ke muridnya hingga murid itu ketakutan karena guru marah. Guru marah karena muridnya tak memgerti soal matematika. Ketika gurunya saya tanya, ternyata guru itupun tak tau juga. Mengapa guru marah ke siswa?. Karena siswa tidak paham matematika. Padahal guru itupun tidak tau jawaban soal matematika itu. Bang Martinpun ketawa, mendengarnya.
Gamabaran cerita guru itu, bisa juga gambaran komunikasi di medsos sekarang. Seseorang marah marah mengomentari komentar orang lain, padahal dia tidak paham apa yang sedang dibahas. Di sebuah medsos, seorang teolog lulusan doktor teologia dimarahi seorang nitizen yang tidak pernah baca Alkitab. Dokter pun bisa dimarahi dukun soal cara mengobati orang sakit flu dan demam. Inilah dunia maya itu. Hidup kita sekarang banyak yang lucu lucu dan konyol.
Mengenai Covid 19 yang sedang kita hadapi sekarang, janganlah konyol. Kita coba gunakan logika bang Martin Manurung. Bagaimana sikap yang benar agar logika sehat dengan resiko yang minim?.
Kita diminta pemeritah social distancing. Jaga jarak 1 m. Dengan logika sehat lebih jauh jarak lebih baik, bukan?. Bila penting kita pergi ke ladang, supaya sendiri saja kita. Aman, kan?. Intinya, lebih jauh jaraknya lebih baik. Jarak 1 m itu kan karena di Jakarta dan kota besar luasnya sempit.
Kalau tadi saya katakan pastikan 100 % mobil tidak ada di depan baru bisa melewati kendaraan, lain halnya dengan Covid 19. Kalau Covid 19, logika paling aman adalah anggap saja orang lain sudah positif sehingga ambil jarak dan tidak bersentuhan.
Jika orang lain dianggap positif berarti kita jaga jarak dan tidak bersentuhan. Hasilnya, kita aman. Sebaliknya, jika orang lain kita anggap negatif, kemudian kita tidak jaga jarak dan bersentuhan, maka kita beresiko.
Jika orang lain kita anggap positif padahal negatif Covid 19 kita aman. Jika kita anggap orang lain negatif, ternyata positif Covid 19 maka beresiko.
Karena anggapan itu mempengaruhi sikap kita kepada seseorang. Anggapan kita negatif padahal positif menjadikan kita tidak jaga jarak dan bersentuhan maka potensi kita positif sangat tinggi.
Jika kita anggapan kita positif dan benar positif, resikonya tidak ada, sebab sudah kita antisipasi sejak awal.
Hidup kita memang harus waspada. Waspada terhadap kepercayaan kita kepada Tuhan. Kepercayan kita pun harus terus menerus dimurnikan.
Iman yang terpelihara pasti sensitif terhadap perubahan zaman dan dapat menjawab perubahan zaman.
Percaya kepada Tuhan berarti bijak bersikap. Kepercayaan kepada Tuhan membuat kita berhikmat dan terus berkontribusi membangun peradaban dunia.
Hari ini, kita merayakan kebangkitan Yesus. Hari kebangkitan dimaknai bahwa dosa kita telah dikuburkan bersama Yesus. Yesus mati untuk kita. Bangkit pula untuk kita. Kebangkitan dimaknai sebagai kemerdekaan dari belenggu dosa.
Kita yang dimerdekakan harus memerdekakan umat manusia dari kesulitan.
Selamat Paskah.