Teman-teman saya yang suku Tionghua, beberapa diantaranya Tionghua Medan, ngomel-ngomel di WAG. Pangkalnya bermula postingan artikel dari salah satu media yang memberitakan pertemuan dan dukungan 1500 pengusaha Tionghua Medan kepada Prabowo dalam kunjungan kampanyenya tanggal 22 Februari 2018 kemarin.
Segala sumpah serapah pun terlontar, ada yang menyebut bila para pengusaha tersebut sudah lupa akan kejadian 1998 dimana terjadi penjarahan dan pemerkosaan di mana-mana. Ada juga yang menyebutkan bila para pengusaha tersebut bodoh dan tertipu oleh janji manis Prabowo.
Benarkah mereka bodoh dan tertipu? Tidak kawan, kalau mereka bodoh mungkin tidak akan menjadi pengusaha hari ini. Justru mereka sangat cerdas menjurus ke licik lah makanya dapat menjadi pengusaha yang sukses. Menurut saya, kata yang lebih cocok untuk para pengusaha tersebut adalah Oportunis.
Mereka tidak punya ideologi, atau kalaupun ada, uang lah ideologinya. Berkelahi antar saudara karena rebutan warisan, sudah merupakan hal yang biasa. Saling menjegal dalam berbisnis termasuk dengan sesama anggota keluarga lainnya, juga bukan berita baru.
Jadi bila hari ini ada pengusaha Tionghua yang memberikan dukungan kepada Prabowo, sebenarnya bukan hal yang mengherankan bagi saya. Apalagi Prabowo adalah mantan menantu Soeharto yang didukung juga oleh trah Cendana.
Didasarkan atas euforia masa lalu, mereka mungkin berharap dengan naiknya Prabowo maka cara-cara KKN, kongkalikong dengan para pejabat setempat dapat hidup kembali. Proyek-proyek dapat jatuh ke tangan mereka dengan mudah, urusan pajak, urusan administrasi serta berbagai perijinan yang ketat dapat diperlonggar tentu saja dengan suap.
Hal ini mengingatkan saya akan cerita yang pernah ditulis oleh penulis IV lainnya, yakni Tjiptadinata Effendy
https://www.Indovoices.com/umum/mengapa-masih-ada-segelintir-pengusaha-merindukan-zaman-orba/
Di situ dijelaskan dengan gamblang berdasarkan pengalaman beliau ketika menjadi pengusaha.
Apakah mereka telah lupa kejadian 1998? Benar, mereka telah lupa karena bukan mereka yang mengalaminya. Saat kejadian 1998, para pengusaha tersebutlah yang duluan kabur menyelamatkan diri.
Mereka hidup dengan santai dan nyaman dengan tabungannya di negara lain. Sementara yang kena jarah, kena perkosa adalah para pengusaha kecil atau warga Tionghua yang tidak mampu melarikan diri ke luar negeri. Miris namun demikianlah adanya.
Orang-orang seperti ini tidak menginginkan negara ini maju, yang mereka pikirkan hanya diri mereka sendiri saja. Jadi dukungan yang diberikan adalah dukungan atas dasar mana yang paling menguntungkan bagi kantong mereka pribadi.
Saya tidak menyebut semua Tionghua Medan demikian, apalagi kehadiran warga dan pengusaha Tionghua itu diperkirakan hanya berjumlah 1500 orang diantara lebih kurang 200 ribu warga Tionghua di Kota Medan. Saya yakin lebih banyak lagi yang baik dan waras. Banyak orang-orang Tionghua terutama generasi mudanya yang memiliki idealisme kuat. Generasi muda yang tidak ingin kembali ke masa orba.
Berbeda dengan generasi lamanya, generasi muda ini sudah melek informasi dan teknologi. Mereka sadar kelompok mana yang benar-benar bekerja untuk kemajuan bangsa dan kelompok mana yang benar-benar bekerja hanya untuk menebar hoax, ancaman dan pesimisme. Generasi muda ini juga berusaha melek politik, karena mereka sadar berbagai perubahan politik di negara ini akan ikut berpengaruh terhadap kehidupan mereka sendiri.
Saya bahkan mengenal beberapa diantaranya yang bersedia menjadi relawan, baik relawan sebuah organisasi maupun relawan yang bergerak sendiri didasarkan atas kesadaran bahwa negara ini telah berada di jalur yang tepat dan telah dipimpin oleh pemimpin yang tepat. Andakah salah satunya?