Tiada Opsi Referendum Bagi Papua
Seakan belum cukup membuat keributan, memprovokasi massa hingga menyebabkan demo anarkis di Papua dan Papua Barat. Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo mengatakan pihaknya akan menyerukan aksi mogok nasional di seluruh wilayah yang diklaim sebagai West Papua untuk mendesak referendum atau penentuan nasib Papua lewat pemungutan suara rakyat.
“Kita sudah serukan rakyat Papua untuk melakukan mogok sipil nasional di wilayah West Papua, untuk mendesak Jakarta membuka ruang referendum di Papua Barat,” kata dia, dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Sabtu 31 Agustus 2019 kemarin.
Padahal sejatinya Indonesia sendiri sudah tak memiliki dasar hukum mengenai referendum. TAP MPR Nomor VIII tahun 1998 telah mencabut TAP MPR Nomor IV tahun 1993 tentang Referendum. Kemudian lahir UU Nomor 6/1999 tentang Pencabutan UU Nomor 5/1985 tentang Referendum.
Dengan pencabutan tersebut, konstitusi maupun perundang-undangan di dalam sistem hukum Indonesia tidak mengakui atau mengenal lembaga atau model referendum.
Meskipun demikian, tidak serta merta masalah selesai. Pasalnya banyak juga yang membandingkan permintaan Referendum oleh Papua dengan Timor Leste (dahulu bernama Timor Timur). Kenapa Tim-Tim bisa, sementara Papua tidak bisa?
Untuk menjawabnya, kita harus melihat kembali sejarah bagaimana terbentuknya wilayah Republik Indonesia di masa lalu.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa Nusantara di masa lalu merupakan jajahan Belanda. Selama abad ke-19, daerah jajahan dan hegemoni Belanda mengalami perluasan besar-besaran dan mencapai puncaknya dengan menguasai batas wilayah teritorial terbesar pada awal abad ke-20.
Walaupun perlawanan terus terjadi oleh raja-raja, sultan maupun penguasa lokal di Nusantara. Namun semua itu mampu dipatahkan oleh Belanda. Berturut-turut Sulawesi barat daya dan tengah diduduki pada tahun 1905 hingga 1906, kemudian Pulau Bali ditaklukkan dengan kampanye militer pada tahun 1906 dan 1908.
Demikian pula dengan kerajaan-kerajaan lain yang tersisa di Maluku, Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Dan yang terakhir adalah Semenanjung Kepala Burung (Nugini Barat), berhasil dikuasai pemerintahan Belanda pada tahun 1920. Wilayah ini lah yang kelak kita kenal dengan Papua (Irian Jaya).
Di bawah Perjanjian Inggris-Belanda 1824, perbatasan antara bekas daerah jajahan milik Inggris dan Belanda kelak pula menjelma menjadi batas modern antara Malaysia dan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Salah satu butir kesepakatan itu berbunyi “Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.” Pengecualian untuk Papua bagian barat yang dijanjikan akan diselesaikan dalam tempo satu tahun sejak KMB, namun sampai tahun 1961, tak terselesaikan.
Amerika yang khawatir akan pengaruh Uni Soviet kemudian mendesak pemerintahan Belanda agar mengadakan perundingan dengan Indonesia dan menyerahkan Papua bagian barat sepenuhnya kepada Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian New York yang ditandatangani 15 Agustus 1962.
Perjanjian New York yang berisi penyerahan Papua bagian barat dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Tanggal 1 Mei 1963 Papua bagian barat kembali ke Indonesia. Kedudukan Papua bagian barat menjadi lebih pasti setelah diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969.
Dari jejak sejarah tersebut kita dapat melihat dengan jelas bila Papua bagian barat (yang mencakup Papua dan Papua Barat saat ini) merupakan hak Indonesia. Jadi wajar bila Indonesia berusaha mempertahankan Papua agar tetap di dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Hal ini tentu sama sekali tidak dapat disamakan dengan Timor Leste, yang jika ditilik dari sejarahnya ternyata memang bukan wilayah Indonesia, karena Timor Leste merupakan bekas jajahan Portugis. Apalagi setelah dijajah Indonesia pada tahun 1975, Timor Leste tidak dirawat dengan baik. Hal ini mengakibatkan sorotan dunia internasional begitu tajam dan desakan referendum baik dari dalam Timor Leste sendiri maupun negara-negara luar, menguat.
Terkejut? Well suka tidak suka, mau tidak mau kita harus mengakui kalau memang Timor Leste pernah dijajah oleh Indonesia. Walaupun ketika itu tujuan penjajahannya adalah untuk membendung arus komunisme yang dikhawatirkan akan menyebar dari Selatan.
Nah kembali ke masalah Papua, permintaan Referendum yang diajukan sudah selayaknya ditolak. Tidak ada alasan kenapa Papua harus lepas dari Indonesia. Apalagi semasa pemerintahan Jokowi, Papua dan Papua Barat malah sangat dianak-emaskan. Pembangunan di Papua dan Papua Barat di masa lima tahun pemerintahan Jokowi, melaju dengan pesatnya melebihi pembangunan di pemerintahan sebelumnya bahkan walau digabung sekalipun.
Ironisnya, guncangan justru mulai meningkat setelah saham Freeport mulai dikuasai oleh Indonesia. Tiga tahun pertama pemerintahan Jokowi (2014-2017), pembangunan di Papua berjalan relatif hampir tanpa hambatan. Namun sejak akhir 2017 berhembus kabar Indonesia akan mengambil alih 51 persen saham Freeport. Sejak itu pula Aksi OPM mulai mengalami eskalasi, pesawat helikopter TNI ditembak, belasan pekerja PUPR dibunuh di akhir 2018, drama penyanderaan desa. Dan puncaknya adalah demo anarkis yang terjadi di sejumlah wilayah di Papua.
Sulit menyebut aksi-aksi itu murni dilakukan tanpa campur tangan pihak asing atau bahkan pihak dalam negeri sendiri yang terganggu kepentingannya akibat pengalihan saham tersebut. Sama sulitnya dengan menyebut slogan referendum adalah murni dari keinginan warga Papua itu sendiri. Selalu ada kepentingan yang bermain. Mempertahankan Papua adalah mempertahankan kedaulatan Indonesia. Setujukah Anda?
Untuk membaca tulisan saya yang lain, silahkan klik di sini