Indovoices.com– Salah satu tokoh idola saya adalah Bunda Teresa. Bunda Teresa pernah mengatakan alasan mengapa dia menolong orang orang menderita di Calcutta. Bunda Teresa mengatakan aku melihat wajah Yesus di wajah-wajah yang menderita di Calcuta. Di wajah ibu-ibu, anak-anak menderita di Calcuta itu kulihat wajah Yesus.
Melihat kehadiran Bunda Teresa di Calcutta, masyarakat Calcutta protes. Teresa dituding merusak budaya Calcutta. Kemudian, rakyat Calcutta hendak mengusir Bunda Teresa dari Calcutta. Walikota dan masyarakat Calcutta ramai-ramai hendak mengusir Teresa. Bunda Teresa mengatakan, aku segera meninggalkan Calcutta, dengan syarat ada yang menggantikanku merawat orang-orang yang menderita ini. Mendengar jawaban Bunda Teresa walikota itu mundur dan rakyat Calcutta hendak mengusir bunda Teresa tertunduk diam.
Saya sangat kagum dengan film bunda Teresa itu. Film itu sangat menginspirasi hidup saya sehari-hari. Ketika SMP saya sidi di HKBP Nalela. Di surat sidi saya itu tertulis Roma 12;15 yang mengatakan, “bergembiralah dengan orang yang bergembira, menangislah dengan orang yang menangis”. Ketika ompung Saulina Sitorus yang berusia 92 tahun itu diperhadapkan dengan hukum saya menemaninya.
Kami berpelukan dan menangis bersama. Saya carikan kapal untuk membawanya dari Panamean ke Balige untuk bersidang. Dongani ahu tulang, bolak bohikku, nga matua ahu. Di hatuaonku, ikkon marpengadilan ma ahu tulang. Sasintongna, bolak bohikku mangida jolma i. Hape, ai so parjahat ahu tulang ( Temani aku tulang, aku sangat malu, aku sudah tua. Ketika aku sudah tua, aku menjadi narapidana. Aku sangat malu, tulang).
Cukup lama aku meyakinkan, tidak perlu malu. Banyak orang bersamamu. Saya sambil menunjukkan pendapat-pendapat yang mendukungnya. Hingga kini, kami memiliki hubungan batin.
Cerita itu teringat ketika Kapolres Tobasa dan Bupati Tobasa mengatakan agar tidak ada yang mendampingi rakyat Sigapiton. Dari sudut pandang demokrasi pendapat Kapolres dan Darwin Siagian itu sudah saya tulis. Pendampingan itu termasuk bagian dari pilar demokrasi. Mengawal proses demokratisasi. Tidak satupun aturan yang dilanggar dari kehidupan berdemokrasi. Dari sudut pandang apapun pendampingan itu diperbolehkan.
Kini saya menjelaskan dari sudut pandang teologia. Saya diajarkan surat sidi saya agar hadir di tengah-tengah orang menangis. Siapa yang melarang?. Lembaga KSPPM hadir menjadi roti dunia mecelikkan mata semua orang agar melihat keadilan. Siapa yang bisa melarang?. Mendampingi orang yang merasa diperlakukan tidak adil adalah mulia. Sikap konstitusional.
Tudingan Bupati Tobasa, Sekda Tobasa dan juga LBP dan semuanya yang mengatakan bahwa rakyat Sigapiton diprovokasi orang tertentu adalah keliru.
Bagaimana mungkin ada proyek raksasa tanpa kajian yang cermat dan mendalam tanpa melibatkan tokoh masyarakat lokal?.
Apa yang dikuatirkan dari para pendamping?. Bukankah kita diikat etika dan hukum?. Apa yang dilakukan para pendamping dan yang peduli sehingga disebut diprovokasi?. Kita harus jujur, memang rakyat Sigapiton memahami makna bahwa, ” tano hangoluan (tanah adalah kehidupan)). Sejatinya, pemerintah yang menolong mereka untuk menjaga pemahaman itu. Semua kita belajar kearifan lokal Sigapiton memaknai tanah.
Kita sepakat, bahwa melihat persoalan harus secara holistik. Perspektif ekologi, sosiologi, anthropogi, teologi dan sudut pandang manapun tidak dilibatkan di Sigapiton. Sudut pandang ekonomi yang an sih angka angka. Sigapiton dilihat dari harapan pertumbuhan angka ekonomi. Karena itulah muncul kalimat perputaran ekonomi yang luar biasa. Pemerintah akan menggelontorkan dana Rp 4,5 triliun. Padahal, cara pandang ini sudah jelas disebut pembangunan yang menindas. Menindas rakyat lokal.
Supaya tidak ada yang ditindas, maka bangunlah dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan wisata yang eco friendly sudah lama diterapkan di dunia dan Indonesia.
Selamat hari minggu.
*Gurgur Manurung belajar teologia awam dan ekologi.