Ternyata Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab pernah menyurati Presiden Jokowi melalui pengacaranya. Rizieq yang meminta Presiden agar memerintahkan Polri untuk menghentikan penyidikan kasus percakapan via WhatsApp berkonten pornografi yang diduga melibatkan Rizieq dan Firza Husein.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, penghentian perkara merupakan wewenang penuh penyidik yang menangani kasusnya. “Yang menilai bisa di-SP3 atau tidak kan penyidik. Ada kriterianya,” ujar Setyo di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu 21 Juni 2017 yang lalu.
“Dimohonkan kepada Bapak Presiden RI untuk memerintahkan penyidik/Polri agar menerbitkan SP 3 kepada Habib Rizieq Shihab karena melanggar peraturan perundang-undangan khususnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016,” ujar Kapitra Ampera mengutip isi surat yang dikirimkan kepada Jokowi.
Kapitra menilai, penyidikan terhadap kasus ini menyalahi aturan karena didapatkan dengan cara ilegal. Menurut dia, rekaman dan kutipan chat yang ada tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah karena melanggar hak asasi manusia dan hak privasi.
(https://nasional.kompas.com/read/2018/04/27/15330581/presiden-jokowi-tolak-permintaan-alumni-212-untuk-intervensi-kasus-rizieq)
Coba cermati kata-kata yang disampaikan oleh pengacara Rizieq, Kapitra Ampera, terutama pada paragraf diatas yang ditulis dengan huruf tebal. Pertama barang bukti didapat secara ilegal, dengan kata lain bahwa bukti peristiwa chat sex itu benar adanya, dibuktikan dengan kata “rekaman dan chat yang ada”, terlepas tuduhan diperoleh secara legal atau ilegal.
Yang kedua, alat bukti tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah karena melanggar hak asasi manusia dan hak privasi. Coba cermati lagi kata-kata alat bukti, melanggar hak asasi manusia dan hak privasi. Bagaimana kesimpulan Anda? Tepat sekali dan itulah yang terjadi. Sama sekali di surat tersebut tidak disebutkan soal rekayasa kasus dikriminalisasi dan sebagainya.
Coba kita pikirkan dengan logika saja, seandainya kita merasa dijebak, dikriminalisasi dan sejenisnya, didalam surat pasti kita akan meminta kasus dihentikan karena fakta yang sebenarnya tidak seperti itu. Kita pun akan berusaha menjelaskan kronologis yang sebenarnya seperti apa.
Tapi di surat yang dikirimkan Rizieq sama sekali tidak terbaca adanya penyangkalan terhadap kejadian yang membelit dirinya. Namun lebih merupakan pelanggaran terhadap privasinya alias hal yang dituduhkan benar adanya, namun merasa dilanggar karena sifatnya yang privasi.
Jadi merupakan hal yang janggal ketika Kepala Staf Kepresidenan RI, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menyebutkan jika status tersangka Rizieq bisa saja dicabut untuk mempertimbangkan aspek lain. Seakan-akan pemerintah melembek dan mau bernegosiasi terhadap mereka.
Bahkan salah satu pegiat medsos Denny Siregar mengancam akan mencabut dukungannya apabila apa yang disampaikan Moeldoko menjadi kenyataan. Diberbagai WAG yang saya ikuti juga banyak yang menyuarakan hal serupa sebagai bentuk protes atas kekecewaan yang mereka alami. Apalagi permintaan tersebut diulangi kembali oleh PA212 saat bertemu presiden belum lama ini.
Untungnya Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo langsung melakukan klarifikasi bahwa Presiden menolak permintaan Alumni 212 tersebut. Sebab, Presiden tidak bisa mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan di kepolisian.
Saya pribadi ketika mendengar apa yang disampaikan Moeldoko walau sempat kecewa namun saya tidak yakin Jokowi berani memutuskan untuk mengintervensi dan menghentikan kasus hukum yang menjerat Riziq.
Kita semua tentu masih ingat, saat seseorang yang cukup dekat dengan Jokowi, yaitu Ahok tersangkut politisasi kasus penistaan agama pun, walau dalam hatinya saya yakin Jokowi merasakan kesedihan, namun beliau tetap berusaha kuat untuk tidak mengintervensi hukum.
Karena beliau sadar bahwa jebakan telah disiapkan oleh lawan-lawan politiknya. Begitu Jokowi mengintervensi, maka selesailah sudah. Lawan-lawan politiknya akan seperti sekelompok serigala lapar menghabisi dirinya baik melalui demo berjilid-jilid maupun dari parlemen.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto saat dikonfirmasi ulang tanggal 27 April 2018 kemarin, menegaskan Presiden Joko Widodo telah melakukan hal yang benar menolak tuntutanPersaudaraan Alumni (PA) 212.
Jadi merupakan hal yang aneh serta mengada-ada bila PA 212 dan pendukungnya mengklaim kasus itu bentuk kriminalisasi terhadap imam besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, sehingga harus dihentikan. Dikriminalisasi apanya? Dari suratnya saja sudah terbaca pengakuan yang bersangkutan, walaupun tidak secara langsung dikatakan.
Oleh sebab itu saya mendukung langkah pemerintah, khususnya presiden untuk tidak mengintervensi kasus hukum terhadap Rizieq Shihab dan mendukung Polri untuk menuntaskan kasus kriminal murni ini.
#Salam2periode
#2019TetapJokowi