Berbicara soal keberanian Jokowi menghadapi negara asing tercermin dari tindakannya, mana kala beberapa hari yang lalu pemerintah Indonesia melalui PT Inalum, berhasil secara sah mengambil alih saham PT Freeport Indonesia sebesar 51,2 persen. Jangan mengira bila pengalihan tersebut berlangsung mulus, semulus jalan tol yang dibangun oleh Jokowi. Selain melibatkan waktu sepanjang 4 tahun, ternyata terselip juga ancaman dari Amerika Serikat yang tidak rela saham Freeport diambil alih oleh Indonesia.
Hal ini terungkap dari penjelasan Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali yang membongkar berbagai skenario dan intrik untuk menggagalan pengambil alih sebagian besar saham PT Freeport Indonesia tersebut.
Salah satunya adalah teror yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang menembaki warga sipil di sekitar area tambang Freeport. Belum lagi kabar merapatnya pasukan Amerika Serikat di Australia sebagai tekanan terhadap pemerintah Indonesia.
Namun bukan Jokowi namanya bila tidak keras kepala, hal ini diakui sendiri oleh Iriana Jokowi dalam salah satu acara di televisi yang menyebutkan bila Jokowi sudah menginginkan sesuatu, harus dituruti.
Kengeyelan si tukang kayu ini bukanlah yang pertama kalinya, setidaknya masih ada dua peristiwa penting dimana Jokowi mampu membuat dunia internasional terperangah menyaksikan keberaniannya.
Bila kita tarik ke belakang, maka kita akan menemukan cerita bagaimana Jokowi yang tanpa mengenakan rompi anti peluru, tidak menyurutkan langkahnya untuk mengunjungi negara konflik Afghanistan. Padahal di saat yang bersamaan kondisi negara tersebut masih dalam suasana pertempuran dengan pihak pemberontak, 29 Januari 2018 silam. Malah pagi hari menjelang kedatangan Jokowi, terdengar kabar serangkaian ledakan juga terjadi di Kabul, tak jauh dari sebuah akademi militer.
Keberanian Jokowi bahkan sangat diapresiasi oleh Ashraf Gani, selaku Presiden Afganistan yang tidak ragu-ragu langsung memberikan medali tertinggi, yakni Medal of Ghazi Amanullah kepada Jokowi. Dengan disambut salju yang turun dan suhu satu derajat celcius, kedatangan Jokowi di Afghanistan menjadikan dirinya sebagai Presiden kedua RI yang datang ke Afghanistan setelah Sukarno.
Masih bercerita soal keberanian Jokowi, kali ini bertempat di Laut China Selatan (Laut Natuna Utara), berawal dari banyaknya kapal-kapal pencuri ikan dari negara panda tersebut yang masuk ke perairan Indonesia untuk mencuri ikan. Dari kapal nelayan yang berhasil ditangkap, ditemukan peta yang menunjukkan Laut Natuna, termasuk Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas, dalam wilayah penangkapan tradisional China.
Peta yang dikeluarkan Kantor Kemaritiman Nansha itu disebut sudah diberlakukan sepihak oleh China sejak 1994. Padahal, Beijing pernah menyatakan Natuna milik Indonesia pada 1996.
Merasa marah, Jokowi pun lantas menaiki kapal KRI Imam Bonjol di Laut Natuna, Kamis 23 Juni 2016 silam. Dengan sangat demonstratif, Jokowi juga mengundang 10 menteri dan sembilan pejabat untuk menggelar rapat dalam kapal perang yang tengah patroli di Laut Natuna itu.
Tak pelak lagi tindakan heroik Jokowi menuai pujian dunia, Koran The Manila Times bahkan memuat gambar karikatur Presiden Jokowi yang ditampilkan sedang melawan Naga (China). Di kartun itu Jokowi digambarkan memakai baju besi membawa pedang dan tameng seperti prajurit zaman dahulu.
Majalah “Time” melalui versi online menulis dengan judul “Indonesian President Jokowi Visits the Natuna Islands to Send a Strong Signal to China.” Sedangkan International Bussines Times UK menulis dengan judul “Indonesian leader visits South China Sea islands on warship.“
Laporan serupa ditulis oleh Japan Times dengan judul “Indonesia leader, top execs visit Natuna isles in warship.” Tulisan yang ditulis Washington Post melaporkan “Indonesian president visits Natuna in South China Sea” dengan foto Jokowi berada dalam kemudi KRI Imam Bonjol.
Bila kita baca dari berbagai contoh yang saya sebutkan di atas, semuanya mengerucut pada keberanian seorang Jokowi. Kunjungan ke Afghanistan berbicara soal keberaniannya menentang marabahaya. Sedangkan pengambil alihan saham Freeport dan kenekadannya menggelar rapat di atas kapal perang di Laut China Selatan, mencerminkan ketidaktakutannya berhadapan dengan negara Adi Kuasa serta kegigihannya mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
Jadi sungguh bertolak belakang dengan stigma-stigma selama ini yang digembar-gemborkan oleh pihak oposisi tentang sosok Jokowi yang disebut-sebut pro asing dan aseng. Bisa jadi gambaran tersebut lebih cocok disematkan pada diri capres sebelah yang mereka dukung. Bukan tanpa alasan saya menyebutkan demikian.
Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono sendiri pernah menyampaikan bila tokoh idola Prabowo adalah Deng Xiao Ping. Bahkan Prabowo sendiri pernah mengatakan bila dirinya ingin menjadi Deng Xiao Ping-nya Indonesia. Jadi tidak heran Prabowo sangat bersemangat ketika diundang oleh dubes China untuk menghadiri HUT RRT ke-69 beberapa waktu yang lalu. Bukan cuma itu, dengan sedikit menjilat, Prabowo juga menyebutkan China sebagai negara yang penting bagi Indonesia serta ingin meningkatkan hubungan dengan China.
Pandangan Prabowo terhadap China sebelas dua belas dengan pandangannya terhadap negara Amerika. Soal kisruh Freeport 2017 silam misalnya, dirinya pernah meminta pemerintah untuk menghormati Amerika Serikat yang disebutnya pernah membantu bangsa Indonesia pada beberapa hal. Bila menuruti apa yang disampaikan Prabowo, mungkin sampai hari ini, Indonesia harus cukup puas dengan jatah 9 persen saham saja di Freeport.
Di tahun 2014 silam, adik Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo diketahui pernah terang-terangan menyebut Prabowo, Pro Amerika. Dirinya bahkan menjanjikan kepada Amerika Serikat akan menjadi partner yang mendapat perlakuan khusus di dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Gerindra.
Dari berbagai penjelasan saya di atas, pembaca harusnya sudah dapat menilai sendiri siapa yang sesungguhnya berjuang demi kedaulatan Indonesia dan siapa yang sesungguhnya pro Asing dan Aseng.
Karena kalau saya pribadi menilai, sejak Jokowi memimpin, justru negara-negara Adi Kuasa seperti Amerika dan China menjadi tidak berdaya menghadapi keras kepalanya seorang tukang kayu seperti Jokowi.
Alih-alih menguasai atau mendikte Indonesia seperti yang mereka lakukan sejak orde baru, malah berbagai aset cengkeraman mereka terlepas satu demi satu dari Indonesia. Jadi bila ingin menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat, Jokowi masih menjadi figur yang paling tepat hingga saat ini, bukankah begitu kawan?