Indovoices.com – Pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan kepastian kemenangan bagi pasangan 01 yaitu Jokowi-Amin, dilanjutkan dengan perbincangan berapa jatah menteri dan siapa yang akan menjadi menteri ramai di ruang publik. Hampir tidak ada yang memperbincangkan struktur kabinet itu apakah sesuai kebutuhan rakyat atau kebutuhan zaman. Padahal, dalam kondisi pemanasan global (global warming) ini, pertanyaan yang maha penting adalah apakah struktur kabinet itu sudah sesuai dengan komitmen kita bagi dunia tentang prinsip-prinsip pembanguan berkelanjuta (sustainable development)?.
Sejak masyarakat dunia menyadari akan kerusakan Sumber Daya Alam (SDA) dan terjadinya pemanasan global (global warming) Indonesia selalu terlibat. Pada tahun 1987, sidang umum PBB mengesahkan resolusi yang menerima laporan Komisi Dunia tentang konsep Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development) sebagai pedoman bagi kegiatan anggota PBB dalam melaksanakan pembangunan. Emil Salim dari Indonesia salah satu penggagas Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development).
Hampir Lima tahun Joko Wido memimpin negeri tercinta ini dengan tuntutan demokrasi yaitu menjaga integritas dan kepemimpinan yang melayani. Presiden Jokowi telah membangun tuntutan demokrasi secara baik. Jokowi telah sukses mengemban amanat rakyat. Kini, Jokowi akan melaksanakan amanat rakyat untuk periode kedua. Pertanyaanya adalah apakah semua pembangunan yang dilaksanakannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip pembanguan berkelanjutan (sustainable development).
Dari semua kegiatan Jokowi yang dikenal dengan pembangunan jalan tol, pemberian dana desa, destinasi wisata, pendidikan, kegiatan sosial, hukum, reformasi birokrasi, pengelolaan pertanian, perikanan dan kelautan, apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)?. Lembaga apa yang memastikan bahwa kegiatan itu berkelanjutan atau tidak?. Tidak ada lembaga yang independen sebagai pengendali untuk memastikan apakah seluruh kegiatan itu sesuai prinsip-prinsip pembanguan berkelanjutan (sustainable development) atau tidak.
Pembangunan Desa secara fisik di seluruh nusantara begitu pesat karena kebijakan dana desa. Apakah pembangunan desa itu berorientasi ekonomi tanpa mempertimbangkan ekosistem desa?. Jika pemimpin desa dan warganya tidak mendapat edukasi dan pengendalian yang baik tetang prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang kita sepakati bersama PBB maka kerusakan lingkungan akan semakin nyata. Bisa kita bayakangkan jika kerusakan ekosistem di desa secara masif akibat pemahaman pemimpin dan masyarakat desa minim mengenai ekosistem yang berkelanjutan.
Sebagai contoh misalnya, Danau Toba menjadi destinasi wisata kita. Dalam rangka mewujudkan wisata itu dibuatnya Perpres nomor 49 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDDT) yang sering disebut BODT. BODT kegiatannya selama ini adalah membebaskan lahan yang diklaim miliknya dari masyarakat lokal. BODT sejatinya lembaga yang memiliki otoritas agar kawasan Danau Toba dikelola sesuai prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development). BODT sejatinya hadir untuk mengendalikan ekosistem Danau Toba terhindar dari masuknya spesies baru yang akan menjadi predator yang akan merusak jaring-jaring makanan (food chain) dan rantai makanan (food web) ekosistem Danau Toba. BODT juga hadir untuk sinkronisasi kebijakan 7 Kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Karo, Dairi, Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Toba Samosir agar sesuai dengan Perpres nomor 81 tahun 2014 tentang Tata Ruang Kawasan Danau Toba. Kehadiran BODT melakukan pendekatan kekuasaan.
BODT sejatinya hadir sebagai polisi lingkungan agar semua Kabupaten taat terhadap aturan. Ketaatan aturan itu akan menjadikan pengelolaan Danau Toba secara berkelanjutan. Faktanya adalah BODT konflik lahan dengan masyarakat adat Bius Motung, Ajibata, Tobasa, Sumut. Ketika terjadi konflik seperti lembaga BODT dengan masyarakat Motung, lembaga apa yang memberikan nasehat atau vonis apakah sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)?. Konflik semakin rumit ketika masyarakat melaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Semakin rumit karena Kehutanan juga mengklaim bahwa tanah itu adalah milik kehutanan. Masyarakat adat dahulu kala memberikan hutan adat itu dikelola kehutanan. Semakin rumit, bukan?. Jika ada lembaga independen yang membawa prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan maka konflik akan terselesaikan karena mengutamakan rakyat lokal dan negara juga hadir untuk rakyat. Dari kasus ini semakin jelaslah bahwa penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah kekeliruan yang mendasar.
Bukti lain dari kekeliruan penggabungan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan adalah konflik masyarakat adat dengan korporasi. Disatu sisi Masyarakat Hukum Adat (MHA) didorong KLHK untuk menyadari bahwa sebelum ada negera Republik Indonesia eksistensi MHA sudah diakui. Karena kesadaran itu MHA berhak atas tanah adatnya. Di sisi lain KLHK memberikan izin konsesi kepada korporasi untuk mengelola hutan adat. Kondisi inilah yang menimbulkan konflik. Dengan kata lain satu lembaga memunculkan sebuah konflik yang mengerikan. KLHK menyadarkan rakyat akan haknya disatu sisi, disisi lain KLHK memberikan konsesi ke korporasi.
Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi angka sangat mengancam masa dengan lingkungan, karena itu perlu lembaga independen untuk mengendalikan pembangunan di segala bidang untuk menjaga ekosistem dengan baik. Seluruh aktivitas harus dipastikan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) maka struktur kabinet yang berkelanjutan terdiri dari Tiga Menteri Koordinator yaitu yang pertama, Menteri Koordinator Perencanaan Pembangunan: Kedua, Menteri Koordinator Pelaksana Pembangunan: ketiga, Kementerian Pengendalian Dampak Pembangunan. Kementerian yang lain dapat disesuaikan sesuai kebutuhan. Tetapi, hal yang tidak dapat dilupakan adalah perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian harus lembaga yang terpisah. Terpisahnya tiga lembaga ini memastikan apakah kabinet itu sesuai dengan konsep dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development atau tidak).
Penulis adalah pengamat lingkungan, alumni Sekolah Pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. (gurgur manurung)