Antara obat dan racun seringkali perbedaannya terletak pada ukuran dosisnya. Sebagai contoh, Obat aspirin, satu tablet berkhasiat mengurangi rasa sakit, tetapi 200 tablet saja sudah cukup untuk membunuh manusia.
Beberapa kandungan yang terdapat di dalam obat bisa bersifat sangat toksik dan dikenal sebagai racun. Sementara beberapa jenis racun malah memiliki kandungan obat.
Misalnya saja, bisa atau racun ular, bisa ular yang dikumpulkan dari peternakan ular sudah sejak lama sudah dipakai sebagai antibisa untuk gigitan ular. Untuk memproduksi antiracun, bisa ular murni diencerkan lalu disuntikkan dengan takaran tertentu ke mamalia seperti kambing, domba, kelinci, atau kuda.
Setelah disuntikkan, hewan tersebut akan memberi respon imun sehingga para ilmuwan bisa mengumpulkan antibodi yang diproduksi hewan itu untuk membuat antiracun ular. Bahkan dapat dipergunakan untuk berbagai pengobatan.
Salah satunya protein disintegron eristostatin yang diekstrak dari bisa ular di Asia, ternyata diketahui dapat membantu sistem imun pada tubuh untuk melawan kanker kulit. Penelitian kini difokuskan untuk mengetahui potensi protein ini melawan penyakit parkinson dan penyakit autoimun.
Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata prinsip racun melawan racun juga ada dalam dunia perpolitikan, khususnya dunia perpolitikan di Indonesia menjelang pilpres saat ini.
Perhatikan bagaimana Jokowi berhasil menggandeng Ngabalin untuk menghadapi ucapan beracun dari Amien Rais. Dan terbukti efektif, sejak pencaplokan Blok Rokan hingga sekarang, suara Amien Rais nyaris tidak terdengar, apalagi setelah didamprat beberapa kali oleh Ngabalin.
Jadi bukan hal yang mengherankan bila Farhat Abbas dan Razman Arif Nasution juga ditarik untuk memperkuat “squad” 100 jubir Jokowi yang baru dibentuk. Padahal sebelumnya pada Pilpres 2014, timses Jokowi-JK memasang figur yang tidak kontroversial yang kerap berbicara ke publik, yakni Andi Widjajanto dan Teten Masduki.
Namun sayangnya strategi lama tidak bisa dipakai ulang. Profil-profil kalem seperti Johan Budi, dan lainnya sudah tidak cocok lagi melawan pihak sebelah yang nyinyirannya terlampau overdosis, bisa digilas mereka kalau dipaksakan harus berhadapan dengan mulut-mulut seperti Ratna Sarumpaet, Fahira Idris, Neno Warisman, Fadli Zon, Tengku Zul.
Tentu untuk melawan mulut beracun seperti itu, harus menggunakan mulut yang jauh lebih beracun atau minimal sama beracunnya agar mampu mengimbanginya.
Lihat saja berita terbaru mengenai komentar Waketum Gerindra Fadli Zon yang berharap naiknya harga dolar Amerika Serikat (AS) tak menimbulkan huru-hara seperti pada 1998. Kenapa harus dikaitkan dengan masalah huru-hara segala?, mau mencoba memprovokasi? Ancaman terselubung kah?. Bila dibiarkan dan diulang terus menerus, tentu hal ini dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Selama ini segala nyinyiran tersebut didiamkan oleh Jokowi. Jokowi lebih memilih untuk bekerja daripada melayani kata-kata beracun yang dilontarkan pihak oposisi. Sayangnya sikap mengalah Jokowi dianggap sebagai kelemahan, sikap tidak mau menanggapi ucapan mereka dianggap karena takut.
Padahal Jokowi jauh lebih berani dibandingkan mereka semua, lihat saja bagaimana Jokowi berani mengunjungi Afghanistan, padahal negara tersebut ketika itu sedang terjadi perang dan pemboman dimana-mana. Yang terbaru adalah saat Jokowi mengunjungi korban gempa di NTB kemarin, walau pun gempa susulan bisa menjadi ancaman yang dapat terjadi sewaktu-waktu, tidak menyurutkan niatnya untuk datang dan melihat langsung kondisi rakyatnya.
Mengalah bukan berarti kalah, demikian yang saya tangkap dari sikap Jokowi selama ini. Mengalah agar tidak terjadi kegaduhan, mengalah agar energi tidak terbuang percuma untuk melayani serangan pihak oposisi selama empat tahun terakhir ini.
Berbagai cara dilakukan oleh Jokowi agar pihak-pihak yang nyinyir selama ini sadar, bahkan Jokowi juga pernah menegaskan bahwa pemerintah tidak anti pada kritik, tapi harus dibedakan antara kritik dan mencela, apalagi yang nyinyir. Kritik yang disampaikan juga harus didukung dengan data yang akurat. Kritik tidak boleh asal bicara, demikian kata beliau ketika itu.
Apakah pihak oposisi menurutinya? Tidak, alih-alih mendengarkan dan mematuhi apa yang disampaikan Jokowi, malah serangan semakin digencarkan. Berbagai tudingan tanpa data dan bukti pun terus dilancarkan.
Dan ketika kesabaran telah sampai pada batasnya, Jokowi pun berujar “jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian. Jangan membangun fitnah-fitnah, tidak usah suka mencela. Tidak usah suka menjelekkan orang lain, tapi kalau diajak berantem juga BERANI“. Demikian yang beliau sampaikan melalui pidatonya ketika itu di hadapan para relawan.
Dan hasilnya, dibentuklah 100 jubir Jokowi yang tidak saja bertugas menyampaikan pencapaian dan prestasi pemerintah khususnya Jokowi selama ini, namun juga untuk menghadapi orang-orang sejenis Fadly Zon dan kawan-kawannya yang mulutnya berbisa dan suka memprovokasi.
Strategi racun lawan racun telah dijalankan, bukan hal yang mengejutkan bila nama Fahri Hamzah mendadak muncul dan ikut memperkuat squad 100 jubir Jokowi. Tentu merupakan lawan tanding yang cukup berimbang untuk menghadapi bibir Fadly Zon, bibir siapa yang akan menang menurut pembaca?