Indovoices.com– Kabut asap kembali menyergap, membekap tarikan napas warga yang mendiami di sejumlah kawasan dekat areal hutan di beberapa pulau di Indonesia. Baik di Sumatra, maupun Kalimantan. Layakkah keseriusan pemerintah dipertanyakan? Apalagi belum lama Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Jokowi terkait kasus kebakaran hutan di Kalimantan Tengah pada 2015.
Raungan terdengar bagai membelah langit Riau, sesaat kemudian, tampak pesawat Cassa 212 meluncur di udara. Aktivitas itu tampak berulang terjadi di langit Riau, dalam beberapa pekan belakangan. Apa sebenarnya urgensi Cassa 212 itu, sehingga harus terlihat wara wiri di wilayah udara Riau?
Rupanya, sebagaimana dijelaskan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Edward Sanger, pesawat tersebut tengah melakukan langkah pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan menggunakan teknologi, Yakni, melakukan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Tujuan dari kegiatan yang dihelat Tim Satgas Darat dan Udara Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan (Kahutla) Riau itu adalah terjadinya hujan buatan. Edward Sanger mengatakan, hingga sejauh ini Satgas Karhutla telah melakukan penebaran garam sebanyak 52 ton, sebagai upaya penyemaian awan, secara hampir merata di kabupaten dan kota.
“Sampai saat ini kita sudah menyemai 52.000 kg garam di langit Riau. Kita berharap agar hujan segera turun,” kata Edward Sanger, Minggu (21/7/2019).
Selain menggunakan Cassa 212, operasi modifikasi cuaca oleh Satgas Udara juga menggunakan pesawat jenis Piper Cheyenne II.
Apakah hanya itu? Tentu saja tidak. Sebagai salah satu kementerian utama dalam masalah lingkungan hidup dan kehutanan, KLHK juga menggiatkan patroli terpadu demi mencegah karhutla. Koordinasi itu dilakukan KLHK dengan semua lembaga terkait.
Seperti disampaikan Pelaksana Tugas Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Raffles B Panjaitan, pihaknya telah melepas secara resmi tim patroli terpadu di Kalimantan Tengah yang diselenggarakan di Halaman Markas Daops Manggala Agni Palangkaraya, 9 Juli lalu.
Patroli terpadu itu, menurut Raffles tidak hanya digelar di kawasan hutan Kalimantan Tengah. Melainkan, sambung dia, dilaksanakan pula di provinsi-provinsi rawan karhutla lainnya. Sebut saja di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, Jambi, Riau, dan Sumatra Utara.
“Patroli terpadu itu dilaksanakan secara bertahap, berkesinambungan, dan menyeluruh pada 101 posko desa yang dimulai pada 1 Juli sampai dengan 31 Oktober 2019. Adapun patroli itu menjangkau 303 desa,” kata Raffles.
Bahkan, Raffles menjelaskan, pengerahan patroli terpadu sudah dilakukan terlebih dulu, yakni sekitar awal Maret lalu, di beberapa kabupaten. Seperti, sambung dia, di Sukamara, Seruyan, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, dan Murung Raya.
Sejatinya, strategi pengerahan patroli terpadu itu sudah dilaksanakan sejak 2016. Di mana dalam patroli itu dilibatkan beberapa unsur seperti Manggala Agni, TNI, Polri, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Itulah sebabnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, dalam rapat terbatas mengenai antisipasi dampak kekeringan, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin medio Juli lalu, melaporkan langsung kepada Presiden Jokowi bahwa bantuan TNI-Polri ini sangat memberikan arti dalam program pencegahan,” jelas dia.
Bukan hanya TNI-Polri, menurut Doni, keterlibatan berbagai unsur masyarakat baik relawan, perguruan tinggi, ulama, dan juga tokoh masyarakat serta budayawan juga penting untuk mencegah terjadinya kebakaran. Kelak, Doni mengatakan, di setiap provinsi akan disediakan sekitar 1.512 personel gabungan.
Mereka nantinya akan melakukan sosialisasi tentang pentingnya upaya pencegahan karhutla. Sebab, berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, 99 persen kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh ulah manusia.
“Dan akan sangat sulit dipadamkan ketika sudah menjalar, mengingat sebagian besar lahan gambut kita kedalamannya lebih dari 20 meter, bahkan ada beberapa daerah yang lahan gambutnya itu mencapai 36 meter,” ujarnya.
Selain melakukan upaya pencegahan, Doni juga menegaskan perlunya penegakan hukum. Sejauh ini, terdapat 16 kasus karhutla yang tengah diproses oleh kepolisian. Doni pun telah meminta kepolisian di tiap daerah agar penegakan hukum dilakukan semaksimal mungkin, sehingga dapat menimbulkan efek jera.
Upaya penanganan karhutla yang terkini adalah yang dilakukan di Desa Sri Gemilang, Kecamatan Koto Gasib, Kabupaten Siak, Riau. Petugas gabungan di sana masih berupaya memadamkan api, baik dari darat dan udara.
Hingga Minggu (28/7/2019), tercatat upaya pemadaman memasuki hari kedelapan. Kepala Manggala Agni Daops Siak Ihsan Abdillah mengatakan, luas lahan terbakar bertambah dari sebelumnya. “Bertambah menjadi 30 hektar. Tapi sekarang sudah bisa disekat,” kata Ihsan.
Walau begitum demi mengoptimalkan pemadaman, tim menambah kekuatan pemadaman dari udara. “Pemadaman kita lakukan dari darat dan dibantu tim satgas udara dengan menggunakan satu helikopter water bombing,” sebut Ihsan.
Di lokasi kebakaran lahan sendiri terpantau, asap masih cukup tebal karena lahan yang terbakar merupakan tanah gambut dan semak belukar. Kebakaran itu terjadi di areal perusahaan PT Wahana Subur Sawit Indah dan PT Gelora Sawit Makmur.
Pengajuan PK
Dalam menghadapi ancaman kebakaran hutan dan lahan, pemerintah memang tidak pernah main-main. Langkah optimal selalu dilakukan untuk mengatasi persoalan lingkungan tersebut. Sebagaimana ditegaskan Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, belum lama ini, salah satu wujud keseriusan itu adalah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di mana, sambung dia, Indonesia tak ingin dianggap lemah dalam menangani karhutla.
“Pemerintah ini bukan diam. Pemerintah telah bekerja keras untuk melakukan itu,” kata Moeldoko di Gedung Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI), Cikini, Jakarta Pusat, Senin 22 Juli 2019.
Diketahui, MA sebelumnya menolak permohonan kasasi Jokowi terkait kasus kebakaran hutan di Kalimantan Tengah pada 2015. Putusan dengan nomor perkara 3555 K/PDT/2018 itu diketok pada Selasa, 16 Juli 2019. Putusan tersebut dikeluarkan oleh Nurul Elmiyah, selaku ketua majelis hakim dengan anggota Pri Pambudi Teguh dan I Gusti Agung Sumanatha.
Seiring itupun, pdan pejabat terkait diminta mengeluarkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pemerintah juga diminta membentuk tim gabungan yang berkewajiban mengevaluasi terhadap perizinan penyebab kebakaran, penegakan hukum, serta upaya pencegahan kebakaran.
Selain itu, tergugat diwajibkan menjamin keselamatan warga dari dampak karhutla dengan mendirikan rumah sakit khusus paru dan dampak asap. Pemerintah perlu membebaskan biaya pengobatan korban asap, menyediakan tempat, dan mekanisme evakuasi bagi korban asap.
Para tergugat juga dituntut transparan dalam memberikan informasi dalam mengumumkan kepada publik wilayah yang terbakar dan perusahaan yang terlibat. Transparansi itu, termasuk soal dana penanggulangan karhutla oleh perusahaan yang terlibat.
Bermodalkan keseriusan itupulalah, Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan, karhutla menurun drastis setiap tahunnya. Bahkan kini, lLuas area yang terbakar pun berkurang hingga 92,5%.
“Beberapa hal yang menjadi tuntutan akan dipelajari persisnya seperti apa. Secara umum langkah-langkah untuk mengelola kebakaran hutan sudah dilakukan dengan sebaik-baik-nya oleh pemerintah dari banyak aspek, apakah sistem monitoring, pengendalian dan pemadaman, pencegahan dan penegakan hukum juga,” kata Siti.
Kualitas Udara
Walau sebegitu keras upaya dilakukan pemerintah, alam tampaknya belumlah demikian berpihak. Buktinya, berdasarkan pemantauan satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) selama kurun dua pekan terakhir, terdapat 202 titik api di Kalimantan Tengah.
Khusus di Kota Palangkaraya, titik api tersebar di empat kawasan, yang meliputi Jekan Raya (sembilan titik api), Sabangau (empat titik api), Panahdut (satu titik api), serta Kabupaten Pulangpisau (38 titik api).
Sementara itu, pada Minggu (28/7/2019) pagi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika ( BMKG) Stasiun Pekanbaru masih mendeteksi 61 titik panas (hotspot) di Riau. Titik panas tersebar di sebelas wilayah.
Prakirawan BMKG Stasiun Pekanbaru Mia Vadilla mengatakan, titik hotspot terbanyak ditemukan di Kabupaten Pelalawan sebanyak 28 titik. Kemudian di Kabupaten Siak 8 titik, Bengkalis 7 titik, Indragiri Hilir 6 titik, Indragiri Hulu 4 titik, Rokan Hulu 3 titik, Rokan Hilir 2 titik. Sedangkan Kabupaten Kampar, Kepulauan Meranti dan Kuantan Singingi, masing-masing 1 titik.
“Untuk confidence 70 persen, Kabupaten Pelalawan 20 titik, Bengkalis 2 titik, Rokan Hulu 3 titik, Kuantan Singingi 1 titik, Siak 2 titik dan Indragiri Hulu 2 titik,” sebut Mia.
Kebakaran hutan jelas harus bisa ditumpas dan “diperangi”. Pasalnya, sebagaimana catatan Bank Dunia pada 2015, kebakaran hutan di Kalimantan dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia menimbulkan kerugian hingga Rp221 triliun. Berdasarkan data World Bank pula, areal yang terbakar lebih dari 800.000 ha hutan di delapan provinsi atau sekitar 100.000 ha di masing-masing provinsi. (jpp)